Makalah Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang
KERAJAAN DEMAK DAN KERAJAAN PAJANG
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Dedy Susanto, S. Sos.I., MSI
Disusun oleh :
Cantika Diah Pralita (1701036099)
Muhammad Syarofuddin (1701036133)
Khofifah Umdatul K (1701036135)
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerajaan Demak merupakan kerajaan besar di Jawa setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah (1500-1550). Sebagai Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, Kerajaan Demak sangat berperan besar dalam proses Islamisasi pada masa itu. Kerajaan Demak berkembang sebagai pusat perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Wilayahnya meliputi Jepara, Tuban, Sedayu Palembang, Jambi, dan beberapa daerah di Kalimantan. Selain itu, Kerajaan Demak juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan, dan Gresik yang berkembang menjadi pelabuhan penghubung. Namun, sayangnya Kerajaan Demak tidak berumur panjang, dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Kerajaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa kerajaan Pajang merupakan lanjutan dari Kerajaan Demak.
Makalah yang kami susun akan membahas tentang sejarah berdirinya kedua kerajaan tersebut, raja-raja yang pernah memimpin dari kedua kerajayan itu, kejayaan dan kemunduran kedua kerajaan tersebut.
Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah berdirinya Kerajaan Demak?
Siapa raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak?
Bagaimana Demak dikatakan sebagai Pusat Agama dan Peradaban Islam?
Bagaiaman kejayaan Kerajaan Demak?
Bagaimana keruntuhan dari Kerajaan Demak?
Bagaiaman sejarah berdirinya Kerajaan Pajang?
Siapa raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Pajang?
Bagaimana akhir dari Kerajaan Pajang?
BAB II
PEMBAHASAN
KERAJAAN DEMAK
Sejarah Berdirinya Kerajaan Demak
Secara singkat, Babad Tanah Jawi mengisahkan bahwa Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi Bupati Palembang. Kemudian, Raden Patah merantau ke Jawa dengan ditemani oleh putra Arya Damar yang bernama Raden Kusen. Sesampainya di tanah Jawa, keduanya kemudian berguru pada Sunan Ampel di Ngampel Denta (Surabaya). Singkat cerita, Raden Kusen mengajak Raden Patah untuk mengabdi kepada Kerajaan Majapahit sesuai dengan tujuannya mengembara ke tanah Jawa. Namun, Raden Patah menolak ajakan Raden Kusen. Akhirnya, Raden Kusen berangkat mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren.
Makin lama, Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya (alias Bhre Kertabumi) di Majapahit khawatir jika Raden Patah berniat memberontak. Maka, Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah. Kemudian, Raden Patah pergi ke Majapahit untuk, menghadap Brawijaya. Sang Prabu kemudian merasa terkesan karena wajah Raden Patah mirip dengan beliau. Akhirnya, sang Parabu mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai Bupati, sedangkan Glagahwangi diganti dengan nama Demak, dengan ibukota bernama Bintoro.
Berbeda halnya dengan Babad Tanah Jawi, sumber lain yang juga menceritakan berdirinya Kerajaan Demak adalah kronik Tionghoa dari Klenteng Sam Po Kong di Semarang. Menurut kronik Tionghoa ini, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian, ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai Bupati di Bin-to-lo (ejaan Cina untuk Bintara).
Raja-Raja Kerajaan Demak
Diketahui bahwa selama keberlangsungannya dari tahun 1478 hingga 1549, Kerajaan Demak hanya diperintah oleh lima orang raja, yakni Raden Patah (1478-1518), Pati Unus (1518-1521), Sultan Trenggana (1521-1546), Sunan Prawata (1546-1549), dan Arya Penangsang (1546-1549). Adapun riwayat kehidupan raja-raja Kerajaan Demak beserta kebijakannya selama menjalankan roda pemerintahannya, sebagai berikut:
Raden Patah
Dalam Kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong disebutkan bahwa Raden Patah yang pula dikenal dengan Jin Bun itu lahir pada tahun 1455. Raden Patah merupakan putra Kung-ta-bu-mi atau Kertabumi (raja Majapahit) yang lahir dari selir Cina. Oleh Kung-ta-bu-mi, selir Cina itu diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Perkawinannya dengan Swang Liong, melahirkan Kin San. Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Cina itu adalah Siu BAN Ciyang merupakan putri pasangan Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat adalah seorang saudagar dan ulama yang bergelar Syekh Bantong (Sunan Bonang).
Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah merupakan putra Brawijaya yang lahir dari seorang putri Negeri Campa (Cina). Karena sang permaisuri yakni Ratu Dwarawati cemburu, putri dari Negeri Cempa yang telah mengandung itu diberikan Brawijaya pada putra sulungnya yang bernama Arya Dilah atau Arya Damar (Bupati Palembang).
Di masa menjabat sebagai Sultan Demak (1478-1518), Raden Patah yang bergelar Senapati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidina Panatagama, Sultan Syah Alam Akbar (Serat Pranitiradya), atau Sultan Surya Alam (Hikayat Banjari) mengaplikasikan kebijakan-kebijakannya. Terdapat empat kebijakan Raden Patah, yakni:
Memerkenalkan Pemakaian Salokantara
Dalam menopang ketertiban dan peraturan di dalam lingkup Kesultanan Demak, Raden Patah memperkenalkan pemakaian Salokantara yang dijadikan sebagai Kitab Undang-Undang Kerajaan. Dari kebijakan ini bisa ditafsurkan bahwa Raden Patah telah memiliki kesadaran terhadap pentingnya suatu peraturan, perundang-undangan, atau hukum negara yang tertulis.
Mengembangkan Syiar Islam
Dalam upaya pengembangan syiar islam di Tanah Jawa, Raden Patah yang mendapatkan dukungan Majelis Dakwah Walisanga mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479. Melalui Masjid Agung tersebut, anggota Majelis Dakwah Walisanga dapat melakukan syiar Islam, Bermusyawarah, serta berinteraksi dengan umatnya.
Menjunjung Toleransi Agama
Sekalipun beragama Islam dan selalu konsisten untuk turut mengembangkan syiar Islam bersama anggota Majelis Dakwah islam Walisanga, namun Raden Patah turut mrnjunjung tinggi terhadap toleransi agama. Terbukti, Raden Patah tidak memksakan Kuil Sam Po Kong (Semarang) untuk diubah menjadi masjid sebagaimana fungsinya saat didirikan Admiral Cheng Ho.
Spirit toleransi agama yang dimiliki Raden Patah ini mengukuhkan pendapat bahwa ia tidak pernah melakukan penyerangan terhadap Brawijaya ayahnya dikarenakan perbedaan agama. Melainkan, Raden Patah melakukan penyerangan terhadap Grindrawardhana Dyah Kertabumi- sang penguasa Majapahit -.
Melaksanakan Ekspedisi I
Secara lambat-laun, Kerajaan Demak mengalami perkembangan. Sesudah Demak memiliki pasukan yang cukup tangguh, Raden Patah. Memperlancar ekspor hasil bumi ke Malaka dengan melakukan penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah tersebut. Untuk merealisasikan usahanya itu, Raden Patah menerapkan kebijakan yakni melaksanakan Ekspedisi I pada tahun 1513. Namun dalam usahanya itu, Raden Patah mengalami kegagalan. Bahkan putra mahkotanya yang bernama Raden Surya gugur saat menjalankan misis tersebut.
Pati Unus
Menurut beberapa sumber, Pati Unus yang sebelumnya menjadi Adipati Jepara memiliki nama asli Raden Abdul Qadir bin Raen Muhammad Yunus (Syekh Khaliqul Idrus) bin Syekh Muhammad Al-Alsiy bin Syekh Abdul Muhyl Al-Khayri bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Yusuf Al-Mukhrowi (keturunan cucu Nabi Muhammad SAW dari generasi ke-19).
Bila mengacu pada catatan Sayyid Bahruddin Ba’alawi tentangAsyraf di Tanah Persia yang bertanggal 9 September 1979, bahwa ibu Pati Unus bernama Syarifah Ummu Banin Al-Hasani. Ia merupakan keturunan Imam Hasan bin Fathimah binti Muhammad dari Persia.
Pada tahun 1500, Raden Patah menikahkan Pati Unus dengan Putrinya. Sesudah menjadi menantu Raden Patah, Pati Unus diangkat sebagai adipati Jepara. Selain menikahi putri Raden Patah, Pati unus menikah denganputri Sunan Gunungjati (1511). Dari pernikahan itu, Pati Unus diangkat sebagai panglima Gabungan Armada Islam yang memebawa aramada Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon dengan tugas besar yakni merebut tanah Malaka dari Portugis. Dari tugas yang diembannya itu, Pati Unus mendapat gelar Senapati Sarjawala. Karir terpuncak Adipati Pati Unus sebagai raja di Kerajaan Demak sesudah Raden Patah mangkat pada tahun 1518.
Sesudah 3 tahun (1518-1521) menjabat sebagai raja, Pati Unus berhasrat kembali untuk merebut wilayah Malaka dari cengkeraman Portugis. Karenanya dengan armada yang besar, Pati Unus bertolak ke Malaka. Sebagaimana pasukan Demak, Portugis sendiri telah melakukan persiapan dengan matang. Dengan meriam-meriam berukuran besar, pasukan portugis menangkal serangan yang digencarkan pasukan Demak. Pertempuran dahsyat antara kedua pasukan tersebut tidak dapat terhindarkan.
Dari pertempuran antara pasukan Portugis dengan Demak, banyak menelan korabn jiwa. Tidak hanya para prajurit, namun Pati Unus beserta putra pertama dan ketiganua turut gugur dalam pertempuran itu. Sementara, Raden Abdullah (putra Pati Unus ke-2) yang selamat dari pertempuran berhasil pulang ke Jawa.
Sultan Trenggana
Sultan Trenggana merupakan putra Raden Patah yang lahir dari permaisuri Nyi Gedhe Maloka atau Ratu Asyikah binti Sunan Ampel. Karenanya. Ia masih terbilang sebagai cucu dari Bhre Kertabhumi (dari garis Ayah) serta Sunan Ampel (dari garis Ibu).
Sultan Trenggana memiliki beberapa putra dan putri, antara lain: Raden Mukmin atau Sunan Prawata (Sultan Demak ke-4), Ratu Kalinyamat (Bupati jepara), Ratu Mas Cempaka (istri Mas Karebet/ Jaka Tingkir/ Adipati atau Sultan Hadiwijaya dari Pajang), dan Pangeran Timur atau Rangga Jumena (Adipati Madura). Di samping mampu menaklukkan Majapahit pada tahun 1527, Sultan Trenggana maampu menundukkan beberapa wilayah timur, antar lain: Tuban (1527), Wirasari atau Madiun (1529), Medangkungan atau Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruhan (1535), Lamongan, Blitar, Wirasaba atau Majaagung/lombang (1541-1542), Gunung Pananggungan yang merupakan pusat sisa-sisa pelarian orang-orang Majapahit (1543) dan Sengguruh di Malang (1545).
Banyak hal yang dilaksanakan Sultan Trenggana selama menjabat sebagai penguasa di Kerajaan Demak, menikahkan pemuda Pasai bernama Fatahillah dengan adiknya yang bernama Ratu Pembayun. Seorang janda dari Pangeran Jayakelana (putra Sunan Gunungjati). Menurut Babad Tanah Jawa disebutkan, Sultan Trenggana pula menikahkan Jaka Tingkir yang telah mampu membinasakan kerbau ndanu di Gunung Prawata itu dengan Ratu Mas Cempaka putrinya. tidak lama kemudian, Sultan Trenggana pula mengangkat Jaka Tingkir sebagai adipati di Pajang.
Sultang Trenggana mengundang Sunan Kalijaga yang tengah membantu dakwah Sunan Gunungjati di Cirebon itu ke Demak. Beberapa waktu kemudian, terjadi perbedaan pendapat dengan Sultan Trenggana cenderung sependapat dengan Sultan Kalijaga. Akibatnya, Sultan Kudus kecewa dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai imam Masjid Agung Demak. Selepas Sunan Kudus, Sunan Kalijaga diangkat sebagai imam baru dan mendapat tanah perdikan di Kalijaga.
Sunan Prawata
Sepeninggal Sultan Trenggana (1521-1546), yang memerintah Kerajaan Demak adlah Sunan Prawata alias Raden Mukmin selaku putra tertua. Ia adalah Raja keempat Kerajaan Demak, yang memerintah tahun 1546-1549. Ia berambisi melanjutkan usaha Ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun, ketrampilan berpolitiknya tidak begitu baik dan ia lebih suka hidup sebagai ulama daripada sebagai raja.
Raden Mukmin memindahkan pusat pemerintahan dari kota Bintara menuju bukit Prawata. Lokasinya saat ini kira-kira adalah di Desa Prawata, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Oleh karena itu, Raden Mukmin terkenal dengan sebutan Sunan Prawata.
Pemerintahan Sunan Prawata juga terdapat dalam catatan seseorang Portugis bernama Manuel Pinto. Pada tahun 1548, Manuel Pinto singgah di Jawa sepulang mengantar surat untuk Askup Agung Pastor Vicente Vieges di Makassar. Ia sempat bertemu dengan Sunan Prawata, dan mendengar rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti Sultan Turki. Sunan Prawata juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana itu berhasil digagalkan oleh bujukan Manuel Pinto.
Cita-cita Sunan Prawata pada kenyataannya tidak pernah terlaksana. Ia lebih ahli dalam agama daripada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu, daerah bawahan Demak yang dengan susah dikuasai oleh Ayahnya, Trenggana, berkembang bebas, seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik. Sedangkan, Demak tidak mampu menghalanginya. Akhirnya, bukannya semakin berkembang wilayah kekuasan Demak, malah yang terjadi justru kemunduran Kerajaan Demak.
Arya Penangsang
Terdapat sebagian sejarawan berpendapat bahwa raja-raja Kerajaan Demak hanya berkhir pada masa Sunan Prawata. Namun, sebagian sejarawan lainnya mengemukakan pendapat bahwa raja terakhir Kerajaan Demak adalah Arya Penangsang yang sering disebut dengan Arya Jipang. Karena, ia tinggal di wilayah Jipang yang masih berada di wilayah Kerajaan Demak. Pendapat bahwa Arya Penangsang menjadi Kerajaan Demak berakhir bisa dianggap logis. Mengingat sesudah berhasil membunuh Sunan Prawata melalui utusannya yakni Rangkud, Arya Penangsang menobatkan diri sebagai raja di Demak dengan pusat pemerintahan di Jipang pada tahun 1549.
Ketika Arya Penangsang yang pula membunuh Pangeran Kalinyamat (istri Ratu Kalinyamat) tersebut menjadi raja Demak, Adipati Hadiwijaya dari Pajang berniat melakukan pemberontakan itu tidak hanya didorong karena ingin menjadi raja, melainkan pula karena permintaan Ratu Kalinyamat yang suaminya dibunuh Arya Penangsang. Karena tidak ingin merealisasikan tujuannya sendiri, Adipati Hdiwijaya membuka sayembara di mana bagi yang bisa membunuh Arya Penangsang akan mendapat tanah Mentaok dan Pati. Mendengar pengumuman dari Adipati Hadiwijaya itu Pamanahan, Panjawi dan Danang Sutawijaya yang mendapatkan dukungan dari Juru Mrentani menyatakan diri untuk mengikuti sayembara itu. Singkat kata, mereka berhasil membunuh Arya Penangsang di Kali Bengawan Sore pada tahun 1549.
Namun pendapat bahwa Arya Penangsang tewas di Sungai Bengawan Sore itu ditentang oleh segelintir pendapat yang menyatakan bahwa Arya Penangsang tidak tewas dalam peperangan melawan Pemanahan, Penjawi, Danang Sutawijaya dan Juru Mrentani melainkan ,elarikan diri ke Palembang. Pendapat inni berdasarkan makam di Palembang yang diduga sebagai makam Arya Penangsang.
Demak sebagai Pusat Peradaban Agama dan Peradaban Islam
Demak yang berdiri pada paruh kedua abad ke-15 itu tidak saja berkembang sebagai pusat lalu lintas pelayaran dan perdagangan, tetapi juga sebagai pusat ibadat bagi umat Islam yang baru timbul. Baabd Tanah Jawi menjelaskan bahwa sesuai dengan persan Suanan Ampel segera setelah selesai membuka hutan rawa-rawa Glagahwangi, Raden Patah mendirikan masjid. Masjid Demak dan Kerajaan Islam yang pertama itu tidak dapat dipisahkan. Masjid Demak telah menjadi pusat kerajaan Isalam pertama di Jawa. Mungkin sekali Raja-Raja Demak memandang Masjid Demak sebagai lambang kerajaan Islam mereka. Politik ekspansi Raja-Raja Demak pada masa kejayaan yang mampu menjangkau jauh memasuki Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada dasarnya dijiwai dan disemangati oleh semangat keagamaan serta merupakan wujud dari dakwah agama. Ketika kekuasaan Raja-Raja Demak itu sendiri jatuh pada paruh kedua abad ke-16 oleh karena kesetiaan agama itu telah berurat akar, maka Masjid Demak tetap dipandang sebagai pusat kehidupan beragama di Jawa sampai sekarang.
Sebagai masjid kerajaan, Masjid Demak memperoleh kedudukan sebagai Masjid Agung. Menurut tradisi sejarah Jawa, Masjid Demak itu dibangun oleh para wali atau walisongo hanya dalam satu malam saja. Alkisah salah satu di antara keempat tiang utamanya (saka guru) terbuat dari tatal (yang sebenernya adalah potongan-potongan balok yang diikat menjadi satu). Tiang tatal ini merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Masjid Demak dipandang sebagai lambang kesatuan kerajaan dan umat Islam.
Usaha untuk menjadikan Demak sebagai pusat Kerajaan Islam dinyatakan dengan penggunaan gelar dan nama Arab oleh Raja-raja Demak. Sunan Ampel menganugerahkan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah kepada Raja Demak yang pertama. Sunan Gunungjati menganugerahkan gelar Sultan Ahmad Abdu’I Arifin kepada Raja Trenggana yang pada waktu itu berkunjung ke Cirebon. Bentuk-bentuk peradaban Islam yang masih hidup sampai sekarang yaitu wayang, topeng, gamelan, tembang macapat, seni dan teknik pembuatan keris dan lain-lainnya dipandang sebagai hasil penemuan dan ciptaan para wali. Peranan Islam dalam bentuk-bentuk kesenian tersebut yaitu nampak pada sekularisasi terhadap unsur-unsur atau sifat sakralnya. Seni wayang dan gamelan misalnya menjadi kehilangan kesakralannya. Demikianlah, apabila proses Islamisasi telah membawa sekularisasi terhadap peradaban dan kesenian, maka sekuralisasi it pada dasarnya merupakan awal perkembangan peradaban dan kesenian Indonesia modern, yang justru dirintis oleh para wali.
Kejayaan dari Kerajaan Demak
Titik awal kejayaan Demak sebenarnya dimulai dari peristiwa ditaklukannya Majapahit oleh Demak, sebab dari peristiwa penaklukan itu pada nyatanya membuat mata kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadi tertunduk memandang kekuatan Demak, setalah peristiwa itu pula juga negara-negara bawahan Majapahit yang tersebar di Nusantara secara otomatis menjadi bawahan Demak.
Luasnya kekuasaan Majapahit yang diwarisi oleh kerajaan Demak ini rupanya dimanfaatkan benar-benar oleh Demak, Demak memanfaatkan upeti yang didapat dari kerajaan-kerajaan Bawahannya untuk memperkuat armada tempurnya, kekuatan tempur Demak tercatat pada peristiwa pengiriman Ribuan tentara disertai beberapa puluh Kapal perang Demak ke Malaka untuk menyerang Portugis dan peristiwa penyerangan Demak ke Galuh, Sunda Kelapa dan Banten bersama sekutunya kerajaan Cirebon.
Selain itu juga kekayaan Demak yang dihasilkan dari penerimaan upeti dari kerajaan-kerajaan bawahanya ternyata digunakan juga untuk membiyayai ongkos penyebaran agama Islam. Bahkan saking seriusnya Demak membuat semacam tim Pendakwah yang ditugaskan Khusus untuk menyebarkan Islam dipulau Jawa yang diketuai oleh Walisanga, dan benar saja ternyata pada kemudianya seluruh Jawa dapat di Islamkan oleh Demak melalui kiprah tim pendakwah yang diketuai para Walisanga itu. Masa inilah yang disebut sebagai masa Kejayaan Kerajaan Demak, yaitu ketika Demak diperintah oleh Sultan ke I hingga Sultan ke III (Fatahillah, Pati Unus dan Sultan Trenggana), dari mulai tahun 1475 sampai dengan 1546 masehi.
Kemunduran Kerajaan Demak
Keruntuhan Kerjaaan Demak dimulai setelah peristiwa kemangkatan Raja Ke-3 Demak Sultan Trenggana. Setelah kewafatanya pada Tahun 1546, yang menjadi Sultan Demak selanjutnya adalah Sunan Prawata anak dari Terenggana. Ketika Sunan Prawata menjadi Raja Demak yang ke 4 inilah peristiwa tak terduga-duga terjadi. Rupanya Sunan Prawata bersama istrinya dibunuh oleh Arya Penangsang melalui pengikutnya.
Perlu diketahui bahwa Arya Penangsang ini sebenarnya anak dari Pangeran Surawiyata, yang dahulu dibunuh oleh Sultan Trenggana, Dahulu yang berhak menjadi Sultan ke 3 Demak sebenarnya bukan Trengana melainkan ayah dari Arya Penangsang, namun demikian ayah Arya Penangsang dibunuh oleh Trenggana sebelum naik tahta, sehingga pada waktu itu yang naik tahta menjadi Raja ke 3 Demak adalah Trenggana.
Dengan demikian maka dapatlah dipahami bahwa Arya Penangsang sebagai pihak yang merebut hak tahtanya dari keturunan Trenggana. Setelah peristiwa Pembunuhan itu kemudian Arya Penangsang memproklamirkan diri menjadi Raja ke 5 Demak. Namun untuk menghindari balas Dendam dari keluarga Trenggana, mulai saat itu pusat pemerintahan kerajaan dialihkan ke Jipang.
Ketika menjadi Raja Demak yang berkedudukan di Jipang, Arya Penangsang bersikap keras terhadap para Adipati yang masih Pro Keluarga Trenggana bahkan beberapa Adipati yang kedapatan masih Pro Keluarga Trenggana kemudian dibunuhnya.
Menghadapi tingkah Arya Penangsang yang keras tersebut, akhirnya para Adipati yang tidak menyukai Arya Penangsang bersekutu melakukan pemberontakan, pemberontakan ini dipimpin oleh Adipati Pajang yang bernama Jaka Tingkir. Pemberontakan yang dipimpin Adipati Pajang kemudian sukses, bahkan dalam pemberintakan ini Arya Penangsang dapat dibunuh.
Setelah peristiwa terbunuhnya Raja Demak ke-5 itu, kemudian kerajaan Demak dinyatakan musnah. Sebab setelah peristiwa suksesnya pemberontakan itu, ternyata Adipati Pajang kemudian memproklamirkan Pajang sebagai kerajaan baru pengganti Demak dan ia menobatkan dirinya menjadi Raja Pajang pertama.
KERAJAAN PAJANG
Sejarah Berdirinya Kerajaan Pajang
Berdirinya kerajaan Pajang pada akhir abad ke XVI M, merupakan tanda berakhirnya kerajaan Islam yang berpusat di pesisir Utara Jawa yang kemudian bergeser masuk ke daerah pedalaman dengan corak agraris. Ketika berbicara mengenai kerajaan ini, maka erat kaitannya dengan keruntuhan kerajaan Demak. Di akhir kekuasaan kerajaan Demak, terjadi peperangan antara Aryo Penangsang dan Joko Tingkir (menantu Sultan Trenggono). Peperangan itu terjadi pada tahun 1546 M, ketika sultan Demak telah meninggal dunia.
Pertempuran tersebut kemudian dimenangkan oleh Jaka Tingkir. ketika terjadi konflik antara Aria Penangsang dan Joko Tingkir (Hadiwijaya), sebenarnya sunan Kudus kurang setuju dengan Hadiwijaya. Namun hal tersebut kandas, ketika Jaka Tingkir berhasil memindahkan pusat kerajaan Demak ke daerah Pajang. Pengesahan Joko Tingkir atau biasa disebut dengan Hadiwijaya menjadi sultan pertama kerajaan ini dilakukan oleh Sunan Giri. Sebelum resmi mendirikan kerajaan ini, Jaka Tingkir yang berasal dari daerah Pengging ini, sudah memegang jabatan sebagai penguasa di daerah Pajang pada masa Sultan Trenggono. Kerajaan ini juga dinilai sebagai pelanjut dan pewaris dari kerajaan Demak. Kerajaan Pajang terletak di daerah Kertasura dan merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa. Kerajaan Pajang ini tidak berusia lama, karena kemudian bertemu dengan suatu kerajaan Islam besar yang juga terletak di Jawa Tengah yaitu kerajaan Mataram.
Pada awal berdirinya, wilayah kekuasaan Pajang hanya meliputi daerah Jawa Tengah. Hal itu disebabkan karena setelah kematian Sultan Trenggono, banyak wilayah jawa Timur yang melepaskan diri. Namun pada tanggal 1568 M, Sultan Hadiwijaya dan para Adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam Kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang diatas negeri – negeri Jawa Timur, maka secara sah kerajaan Pajang telah berdiri. Selanjutnya, kerajaan Pajang mulai melakukan ekspansi ke beberapa wilayah, meliputi juga wilayah Jawa Timur. Berpindahnya kerajaan Islam dari Demak ke Pajang merupakan kemenangan Islam Kejawen atas Islam ortodoksi. Setelah berkuasa beberapa waktu, kerajaan ini akhirnya mencapai masa kejayaan pada masa raja pertama mereka, yaitu sultan Hadiwijaya. Namun pada perkembangannya, kerajaan ini kemudian mengalami masa disintegrasi setelah sultan Hadiwijaya meninggal pada tahun 1582 M.
Raja-Raja Kerajaan Pajang
Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya)
Nama kecil Jaka Tingkir adalah Mas Krebet. Hal tersebut dikarenakan ketika kelahiran Jaka Tingkir, sedang ada pertunjukan wayang beber di rumahnya. Saat remaja, ia memiliki nama Jaka Tingkir. Nama itu dinisbatkan pada tempat dimana ia dibesarkan. Pada perkembangannya, Jaka Tingkir menjadi menantu dari Sultan Trenggana (Sultan Kerajaan Demak). Setelah berkuasa di Pajang, ia kemudian mendapat gelar “Hadiwijaya”. Jaka Tingkir berasal dari daerah Pengging, di Lereng Gunung Merapi. Jaka Tingkir juga merupakan cucu dari Sunan Kalijaga yang berasal dari daerah Kadilangun.
Melalui pemberontakan yang kemudian menjadi akhir dari kerajaan Demak, Jaka Tingkir berhasil mendirikan kerajaan Islam baru. Meskipun tidak lama, namun bukan berarti kerajaan ini tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap perkembangan Islam di Jawa Tengah, tepatnya di daerah pedalam Jawa Tengah. Di bawah pimpinanya, kerajaan ini mengalami beberapa kemajuan. Salah satu kemajuannya adalah usaha ekspansi wilayah kekuasaan, seperti ekspansi ke daerah Madiun. Selain itu, Pajang juga berhasil melakukan ekspansi ke daerah Blora pada tahun 1554 M dan daerah Kediri tahun 1577 M. Pada tahun 1581 M, Jaka Tingkir berhasil mendapatkan pengakuan dari seluruh adipati di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada masa pemerintahannya jugalah mulai dikenal di daerah pesisir, yaitu kesusastraan dan kesenian dari keraton yang sudah terkenal sebelumnya.
Kesusastraan dan kesenian keraton tersebut sebelumnya berkembang di Demak dan Jepara. Selain itu, yang terpenting adalah pengaruh Islam yang kemudian menjalar cepat keseluruh daerah pedalaman, dengan seorang tokoh pelopor yaitu Syekh Siti Jenar. Sedangkan di daerah Selatan, Islam disebarkan oleh Sultan Tembayat. Pada saat ini terdapat tulisan tentang sajak Monolistik Jawa yang dikenal dengan Nitti Sruti. Diadakannya pesta Angka Wiyu. Selain itu, kesusastraan Jawa juga dihayati dan dihidupkan di Jawa Tengah bagian Selatan. Dapat dikatakan bahwa pada masa inilah, kerajaan Pajang mengalami masa kejayaan, sebelum akhirnya kerajaan ini mulai mengalami kemunduran setelah kematian sultan Jaka Tingkir atau Hadiwijaya (1582 M).
Arya Pangiri Bergelar Ngawantipuro
Menurut sumber sejarah, Sultan Hadiwijaya memiliki beberapa orang anak, putri-putrinya yang diantaranya dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura dan Arya Panalad Tuban. Adapun putri-putrinya dinikahkan dengan Arya Pangiri, Bupati Demak. Arya Pangiri sebenarnya ialah anak Sunan Prawata, yang seharusnya memang menggantikan Trenggana menjadi Raja Demak. Dengan demikian, Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir.
Setelah kematian Sultan Prawata, Arya Pangiri kemudian diasuh oleh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara. Setelah dewasa,Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwiaya, dan dijadikan sebagai Bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya pada akhir tahun 1582, terjadi perebutan tahta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri dengan dukungan Panembahan Kudus (pengganti Sunan Kudus). Alasan Panembahan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja. Akhirnya, Pangeran Benawa, sang pangeran mahkota, disingkirkan dan dan menjadi Bupati Jipang. Arya Pangiri menjadi Raja Pajang kedua sejak awal tahun 1583, dan bergelar Sultan Ngawantipura.
Selama memerintah Pajang, dikisahkan bahwa Arya Pangiri hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Ia melanggar wasiat mertuanya untuk tidak membenci Sriwijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bogis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Tidak hanya itu, Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang, mengabdi pada Pangeran Benawa.
Pangeran Benawa Bergelar Prabuwijoyo
Pangeran Benawa adalah Raja Ketiga Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, dan bergelar Sultan Prabuwijaya. Ia adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, Raja Pertama Pajang. Sejak kecil, ia dipersaudarakan dengan Sriwijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kerajaan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati, yang menikah dengan Mas Jolang putra Sriwijaya. Dyah Benowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram. Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito (Rangawarsita), pujangga-pujangga besar Kesunanan Surakarta.
Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Adapun latar belakang Pangeran Benawa naik tahta menggantikan Arya Pangiri adalah dilandasi keprihatinan terhadap perilaku Arya Pangiri terhadap rakyat Pajang. Selain itu, Pangeran Benawa adalah putra mahkota sah Kerajaan Pajang, yang seharusnya tahta Pajang jatuh kepadanya setelah kematian Sultan Hadiwijaya.
Atas keprihatinannya terhadap rakyat Pajang karena tidak diperlakukan dengan adil oleh Arya Pangiri, maka pada tahun 1588, Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari tahta Pajang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya pun terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Kemudian, Pangeran Benawa menawarkan tahta Pajang kepada Sutawujaya. Namun, Sutawijaya menolaknya, ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik tahta menjadi raja baru di Pajang bergelar Prabuwijaya.
Kejayaan Kerajaan Pajang
Kerajaan Islam Pajang sendiri mengalami masa keemasan atau masa kejayaan kerajaan Pajang adalah pada masa Sultan Hadiwijaya. Ada banyak pencapaian yang berhasil diraih pada masa Sultan Hadiwijaya. Perpindahan kekuasaan Islam Demak ke Pajang sendiri seakan menjadi sebuah simbol dari kemenangan Islam kejawen atas Islam ortodok pada masa itu.
Jaka Tingkir telah menjadi penguasa Pajang itu dengan segera megambil alih kekuasaan. Karena anak sulung Sultan Trenggana yang menjadi pewaris tahta Kesultanan, susuhan Prawoto dibunuh oleh kemenakannya, Aria Penangsang yang waktu itu menjadi penguasa di Jipang (sekarang Bojonegoro). Setelah itu, ia memerintahkan agar semua benda pusaka Demak dipindahkan ke Pajang. Setelah menjadi raja yang paling berpengaruh di pulau Jawa, ia bergelar Sultan Adiwijaya. Pada masanya sejarah Islam di pulau Jawa mulai dalam bentuk baru, titik politik pindah dari pesisir (Demak) ke pedalaman.
Peralihan pusat politik itu membawa akibat yang sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam di Jawa. Sultan Adiwijaya memperluas kekuasaan pemerintahannya di tanah pedalaman ke arah Timur sampai daerah Madiun, di aliran anak sungai Bengawan Solo yang terbesar. Setelah itu, secara berturut-turut ia dapat menundukkan Blora (1554) dan Kediri (1577). Pada tahun 1581, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai Sultan Islam dari raja-raja perpenting diJawa Timur. Pada umumnya hubungan antara keratin Pajang dan raja-raja Jawa Timur memang bersahabat. Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya, kekusastraan dan kesenian yang sudah maju di Demak, dan Jepara lambatlaun dikenal di pedalaman Jawa. Pengaruh agama Islam yang kuat di pesisir dan menjalar tersebar ke daerah pedalaman.
Kemunduran Kerajaan Pajang
Sepeninggal Sultan Adiwijaya pada 1587 itu Kerajaan Pajang ditaklukkan oleh negara bawahannya, Mataram. Keterangan mengenai hal ini pada umumnya hanya terdapat dalam buku babad, terutama Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh para pujangga Mataram satu abad kemudian. Sesuadah Sultan Adiwijaya masih ada lima raja yang berturut-turut memerintah di Pajang. Ahli waris pertama Kerajaan Pajang ialah tiga putra menantu Sultan, yakni Raja di Tuban, Raja di Demak dan Raja di Arisbaya, di samping putranya sendiri, Pangeran Benawa, yang masih sangat muda ketika Ayahnya meninggal dunia. Dalam hubungan ini Sunan Kudus menggunakan wibawa kerohaniannya untuk mengangkat Aria Pangiri, anak Suduhan Prawata yeng terbunuh, Raja Demak untuk menggantikan sebagai Raja Pajang. Jelas usaha ini dimaksudkan untuk mengembalikan kekuasaan Kesultanan Islam di Jawa kepada keturunan langsung dari Demak. Namun Aria Pangiri sebagai Sultan kedua di Pajang tidaklah bertahan lama. Ia berhasil disingkirkan oleh Pangeran Benawa dengan dukungan dari Senapati Mataram.
Menurut Babad Mataram Pangeran Benawa menyerahkan hak waris kerajaannya kepada Senapati Mataram yang dianggapnya sebagai kakak. Tetapi Senapati Mataram ingin tetap tinggal di Mataram dan ia hanya minta perhiasan emas intan kerajaan Pajang. Pangeran Benawa dikukuhkan sebagai Raja Pajang di bawah perlindungannya. Hanya setahun saja Pangeran Benawa menjabat sebagai raja, kemudian ia meninggalkan kerajaan untuk membaktikan diri pada agama di Parakan (daerah Kedu Utara). Oleh Senapati Pajang dipercayakan kepada seorang Pangeran muda di Mataram, Gagak Bening. Pengeran ini banyak melakukan perombakan dan perluasanIstana Pajang. Ia meinggal kira-kira tiga tahun kemudian, 1591.
Sebagai penggantinya ditunjuk putra Pangeran Benawa, cucuc almarhum Sultan Adiwijaya. Pangeran Benawa II masih sangat muda ketika memulai memerintah. Pada masa-masa pemerintahan raja-raja Mataram berikutnya seperti pada masa Panembahan Seda-ing-Krapyak, Pangeran Benawa II ini juga tanpa mengalami kesulitan yang besar dalam memerintah.
Pemberontakan Pajang terhadap Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung telah menghancurkan Pajang untuk selama-lamanya. Pemberontakan ini terjadi pada 1617-1618 dan memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang tidak puas di Mataram. Pemebrontakan Pajang ini mudah dipahami pula, karena secara ekonomis Pajang senantiasa ditekan, dahulu oleh Demak dan sekarang oleh Mataram. Menurut catatan VOC pemberontakan terjadi pada masa musim kering yang luar biasa hebatnya yang berlangsung dari 1618-1624.
Sebagai hukuman dari pemberontakan yang berupa tidak menyetorkan hasil bersnya kepada Mataram, sawah-sawah di Pajang yang padinya sedanga menguning dibakar habis oleh pasukan Mataram. Para petani yang terlibat dalam pemberontakan itu kemudian diangkut secara paksa ke Mataram. Tenaga mereka dimanfaatkan dalam pembangunan keraton baru di Pleret yang letaknya 1 Km sebelah timur laut Ibukota Mataram yang lama, Karta. Sesudah itu Pajang tak lagi berarti baik politik ataupun ekonomi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Demak adalah kesultanan atau Kerajaan Islam pertama di pulau jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah (1478-1518) pada tahun 1478. Kerajaan Demak dilatarbelakangi oleh melemahnya pemerintahan Kerajaan Majapahit atas daerah-daerah pesisir utara Jawa. Para pemimpin kerajaan demak adalah Raden Patah, beliau adalah pendiri Kerajaan Demak dan murid Sunan Ampel yang menjadi raja pertama dan digantikan oleh anaknya Pati Unus. dibawah komandonya kerajaan Demak menyerang malaka yang dikuasai portugis sehingga beliau dijuluki Pangeran Sabrang Lor, pada tahun 1521 Pangeran Sabrang Lor meninggal dan di gantikan oleh Sultan Trenggana. Pada masa kepemimpinannya dianggap sebagai masa keemasan kerajaan Demak karena memiliki daerah yang luas mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur dan meluaskan pengaruh sampai Kalimantan.
Setelah itu digantikan oleh Raden Mukmin, beliau Memimpin antara tahun 1546-1549 dan memindahkan Ibukota dari Bintara ke bukit Prawata. Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran karena terjadinya perebutan kekuasaan. Perebutan tahta Kerajaan Demak ini terjadi antara Sunan Prawata dengan Arya Penangsang. Perebutan kekuasaan ini berkembang menjadi konflik berdarah dengan terbunuhnya Sunan Prawata oleh Arya Penangsang. Arya Penangsang juga membunuh adik Sunan Prawata, yaitu Pangeran Hadiri. Konflik berdarah ini akhirnya berkembang menjadi Perang Saudara. Dalam pertempuran ini, Arya Penagsang terbunuh sehingga tahta Kerajaan Demak jatuh ke tangan Jaka Tingkir. Setelah itu, Jaka Tingkir memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang.
Islamisasi terjadi setelah Jaka Tingkir menjaadi Raja yang paling berpengaruh di Pulau Jawa. Peralihan pusat politik itu membawa akibat yang sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam di Jawa. Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya, kekusastraan dan kesenian yang sudah maju di Demak, dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa. Pengaruhagama Islam yang kuat di pesisir dan menjalar tersebar ke daerah pedalaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Soedjipto. 2013. Babad Tanah Jawi. Yogjakarta: Laksana.
Daliman, A. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Sri Wintala Achmad, Sri Wintala. 2017. Sejarah Islam di Tanah Jawa. Yogyakarta: Aksara.
http://wawasansejarah.com/kerajaan-pajang/ (Diakses pada Minggu, 9 Desember 2018 pukul 10.19 )
http://www.academia.edu/34632384/Makalah_islamisasi_kerajaan_pajang (Diakses pada Minggu, 9 Desember 2018 pukul 10.55)
https://www.historyofcirebon.id/2017/12/kerajaan-demak-masa-pendirian-kejayaan.html (Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul 09. 59)
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Dedy Susanto, S. Sos.I., MSI
Disusun oleh :
Cantika Diah Pralita (1701036099)
Muhammad Syarofuddin (1701036133)
Khofifah Umdatul K (1701036135)
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerajaan Demak merupakan kerajaan besar di Jawa setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah (1500-1550). Sebagai Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, Kerajaan Demak sangat berperan besar dalam proses Islamisasi pada masa itu. Kerajaan Demak berkembang sebagai pusat perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Wilayahnya meliputi Jepara, Tuban, Sedayu Palembang, Jambi, dan beberapa daerah di Kalimantan. Selain itu, Kerajaan Demak juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan, dan Gresik yang berkembang menjadi pelabuhan penghubung. Namun, sayangnya Kerajaan Demak tidak berumur panjang, dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Kerajaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa kerajaan Pajang merupakan lanjutan dari Kerajaan Demak.
Makalah yang kami susun akan membahas tentang sejarah berdirinya kedua kerajaan tersebut, raja-raja yang pernah memimpin dari kedua kerajayan itu, kejayaan dan kemunduran kedua kerajaan tersebut.
Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah berdirinya Kerajaan Demak?
Siapa raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak?
Bagaimana Demak dikatakan sebagai Pusat Agama dan Peradaban Islam?
Bagaiaman kejayaan Kerajaan Demak?
Bagaimana keruntuhan dari Kerajaan Demak?
Bagaiaman sejarah berdirinya Kerajaan Pajang?
Siapa raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Pajang?
Bagaimana akhir dari Kerajaan Pajang?
BAB II
PEMBAHASAN
KERAJAAN DEMAK
Sejarah Berdirinya Kerajaan Demak
Secara singkat, Babad Tanah Jawi mengisahkan bahwa Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi Bupati Palembang. Kemudian, Raden Patah merantau ke Jawa dengan ditemani oleh putra Arya Damar yang bernama Raden Kusen. Sesampainya di tanah Jawa, keduanya kemudian berguru pada Sunan Ampel di Ngampel Denta (Surabaya). Singkat cerita, Raden Kusen mengajak Raden Patah untuk mengabdi kepada Kerajaan Majapahit sesuai dengan tujuannya mengembara ke tanah Jawa. Namun, Raden Patah menolak ajakan Raden Kusen. Akhirnya, Raden Kusen berangkat mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren.
Makin lama, Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya (alias Bhre Kertabumi) di Majapahit khawatir jika Raden Patah berniat memberontak. Maka, Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah. Kemudian, Raden Patah pergi ke Majapahit untuk, menghadap Brawijaya. Sang Prabu kemudian merasa terkesan karena wajah Raden Patah mirip dengan beliau. Akhirnya, sang Parabu mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai Bupati, sedangkan Glagahwangi diganti dengan nama Demak, dengan ibukota bernama Bintoro.
Berbeda halnya dengan Babad Tanah Jawi, sumber lain yang juga menceritakan berdirinya Kerajaan Demak adalah kronik Tionghoa dari Klenteng Sam Po Kong di Semarang. Menurut kronik Tionghoa ini, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian, ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai Bupati di Bin-to-lo (ejaan Cina untuk Bintara).
Raja-Raja Kerajaan Demak
Diketahui bahwa selama keberlangsungannya dari tahun 1478 hingga 1549, Kerajaan Demak hanya diperintah oleh lima orang raja, yakni Raden Patah (1478-1518), Pati Unus (1518-1521), Sultan Trenggana (1521-1546), Sunan Prawata (1546-1549), dan Arya Penangsang (1546-1549). Adapun riwayat kehidupan raja-raja Kerajaan Demak beserta kebijakannya selama menjalankan roda pemerintahannya, sebagai berikut:
Raden Patah
Dalam Kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong disebutkan bahwa Raden Patah yang pula dikenal dengan Jin Bun itu lahir pada tahun 1455. Raden Patah merupakan putra Kung-ta-bu-mi atau Kertabumi (raja Majapahit) yang lahir dari selir Cina. Oleh Kung-ta-bu-mi, selir Cina itu diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Perkawinannya dengan Swang Liong, melahirkan Kin San. Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Cina itu adalah Siu BAN Ciyang merupakan putri pasangan Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat adalah seorang saudagar dan ulama yang bergelar Syekh Bantong (Sunan Bonang).
Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah merupakan putra Brawijaya yang lahir dari seorang putri Negeri Campa (Cina). Karena sang permaisuri yakni Ratu Dwarawati cemburu, putri dari Negeri Cempa yang telah mengandung itu diberikan Brawijaya pada putra sulungnya yang bernama Arya Dilah atau Arya Damar (Bupati Palembang).
Di masa menjabat sebagai Sultan Demak (1478-1518), Raden Patah yang bergelar Senapati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidina Panatagama, Sultan Syah Alam Akbar (Serat Pranitiradya), atau Sultan Surya Alam (Hikayat Banjari) mengaplikasikan kebijakan-kebijakannya. Terdapat empat kebijakan Raden Patah, yakni:
Memerkenalkan Pemakaian Salokantara
Dalam menopang ketertiban dan peraturan di dalam lingkup Kesultanan Demak, Raden Patah memperkenalkan pemakaian Salokantara yang dijadikan sebagai Kitab Undang-Undang Kerajaan. Dari kebijakan ini bisa ditafsurkan bahwa Raden Patah telah memiliki kesadaran terhadap pentingnya suatu peraturan, perundang-undangan, atau hukum negara yang tertulis.
Mengembangkan Syiar Islam
Dalam upaya pengembangan syiar islam di Tanah Jawa, Raden Patah yang mendapatkan dukungan Majelis Dakwah Walisanga mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479. Melalui Masjid Agung tersebut, anggota Majelis Dakwah Walisanga dapat melakukan syiar Islam, Bermusyawarah, serta berinteraksi dengan umatnya.
Menjunjung Toleransi Agama
Sekalipun beragama Islam dan selalu konsisten untuk turut mengembangkan syiar Islam bersama anggota Majelis Dakwah islam Walisanga, namun Raden Patah turut mrnjunjung tinggi terhadap toleransi agama. Terbukti, Raden Patah tidak memksakan Kuil Sam Po Kong (Semarang) untuk diubah menjadi masjid sebagaimana fungsinya saat didirikan Admiral Cheng Ho.
Spirit toleransi agama yang dimiliki Raden Patah ini mengukuhkan pendapat bahwa ia tidak pernah melakukan penyerangan terhadap Brawijaya ayahnya dikarenakan perbedaan agama. Melainkan, Raden Patah melakukan penyerangan terhadap Grindrawardhana Dyah Kertabumi- sang penguasa Majapahit -.
Melaksanakan Ekspedisi I
Secara lambat-laun, Kerajaan Demak mengalami perkembangan. Sesudah Demak memiliki pasukan yang cukup tangguh, Raden Patah. Memperlancar ekspor hasil bumi ke Malaka dengan melakukan penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah tersebut. Untuk merealisasikan usahanya itu, Raden Patah menerapkan kebijakan yakni melaksanakan Ekspedisi I pada tahun 1513. Namun dalam usahanya itu, Raden Patah mengalami kegagalan. Bahkan putra mahkotanya yang bernama Raden Surya gugur saat menjalankan misis tersebut.
Pati Unus
Menurut beberapa sumber, Pati Unus yang sebelumnya menjadi Adipati Jepara memiliki nama asli Raden Abdul Qadir bin Raen Muhammad Yunus (Syekh Khaliqul Idrus) bin Syekh Muhammad Al-Alsiy bin Syekh Abdul Muhyl Al-Khayri bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Yusuf Al-Mukhrowi (keturunan cucu Nabi Muhammad SAW dari generasi ke-19).
Bila mengacu pada catatan Sayyid Bahruddin Ba’alawi tentangAsyraf di Tanah Persia yang bertanggal 9 September 1979, bahwa ibu Pati Unus bernama Syarifah Ummu Banin Al-Hasani. Ia merupakan keturunan Imam Hasan bin Fathimah binti Muhammad dari Persia.
Pada tahun 1500, Raden Patah menikahkan Pati Unus dengan Putrinya. Sesudah menjadi menantu Raden Patah, Pati Unus diangkat sebagai adipati Jepara. Selain menikahi putri Raden Patah, Pati unus menikah denganputri Sunan Gunungjati (1511). Dari pernikahan itu, Pati Unus diangkat sebagai panglima Gabungan Armada Islam yang memebawa aramada Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon dengan tugas besar yakni merebut tanah Malaka dari Portugis. Dari tugas yang diembannya itu, Pati Unus mendapat gelar Senapati Sarjawala. Karir terpuncak Adipati Pati Unus sebagai raja di Kerajaan Demak sesudah Raden Patah mangkat pada tahun 1518.
Sesudah 3 tahun (1518-1521) menjabat sebagai raja, Pati Unus berhasrat kembali untuk merebut wilayah Malaka dari cengkeraman Portugis. Karenanya dengan armada yang besar, Pati Unus bertolak ke Malaka. Sebagaimana pasukan Demak, Portugis sendiri telah melakukan persiapan dengan matang. Dengan meriam-meriam berukuran besar, pasukan portugis menangkal serangan yang digencarkan pasukan Demak. Pertempuran dahsyat antara kedua pasukan tersebut tidak dapat terhindarkan.
Dari pertempuran antara pasukan Portugis dengan Demak, banyak menelan korabn jiwa. Tidak hanya para prajurit, namun Pati Unus beserta putra pertama dan ketiganua turut gugur dalam pertempuran itu. Sementara, Raden Abdullah (putra Pati Unus ke-2) yang selamat dari pertempuran berhasil pulang ke Jawa.
Sultan Trenggana
Sultan Trenggana merupakan putra Raden Patah yang lahir dari permaisuri Nyi Gedhe Maloka atau Ratu Asyikah binti Sunan Ampel. Karenanya. Ia masih terbilang sebagai cucu dari Bhre Kertabhumi (dari garis Ayah) serta Sunan Ampel (dari garis Ibu).
Sultan Trenggana memiliki beberapa putra dan putri, antara lain: Raden Mukmin atau Sunan Prawata (Sultan Demak ke-4), Ratu Kalinyamat (Bupati jepara), Ratu Mas Cempaka (istri Mas Karebet/ Jaka Tingkir/ Adipati atau Sultan Hadiwijaya dari Pajang), dan Pangeran Timur atau Rangga Jumena (Adipati Madura). Di samping mampu menaklukkan Majapahit pada tahun 1527, Sultan Trenggana maampu menundukkan beberapa wilayah timur, antar lain: Tuban (1527), Wirasari atau Madiun (1529), Medangkungan atau Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruhan (1535), Lamongan, Blitar, Wirasaba atau Majaagung/lombang (1541-1542), Gunung Pananggungan yang merupakan pusat sisa-sisa pelarian orang-orang Majapahit (1543) dan Sengguruh di Malang (1545).
Banyak hal yang dilaksanakan Sultan Trenggana selama menjabat sebagai penguasa di Kerajaan Demak, menikahkan pemuda Pasai bernama Fatahillah dengan adiknya yang bernama Ratu Pembayun. Seorang janda dari Pangeran Jayakelana (putra Sunan Gunungjati). Menurut Babad Tanah Jawa disebutkan, Sultan Trenggana pula menikahkan Jaka Tingkir yang telah mampu membinasakan kerbau ndanu di Gunung Prawata itu dengan Ratu Mas Cempaka putrinya. tidak lama kemudian, Sultan Trenggana pula mengangkat Jaka Tingkir sebagai adipati di Pajang.
Sultang Trenggana mengundang Sunan Kalijaga yang tengah membantu dakwah Sunan Gunungjati di Cirebon itu ke Demak. Beberapa waktu kemudian, terjadi perbedaan pendapat dengan Sultan Trenggana cenderung sependapat dengan Sultan Kalijaga. Akibatnya, Sultan Kudus kecewa dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai imam Masjid Agung Demak. Selepas Sunan Kudus, Sunan Kalijaga diangkat sebagai imam baru dan mendapat tanah perdikan di Kalijaga.
Sunan Prawata
Sepeninggal Sultan Trenggana (1521-1546), yang memerintah Kerajaan Demak adlah Sunan Prawata alias Raden Mukmin selaku putra tertua. Ia adalah Raja keempat Kerajaan Demak, yang memerintah tahun 1546-1549. Ia berambisi melanjutkan usaha Ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun, ketrampilan berpolitiknya tidak begitu baik dan ia lebih suka hidup sebagai ulama daripada sebagai raja.
Raden Mukmin memindahkan pusat pemerintahan dari kota Bintara menuju bukit Prawata. Lokasinya saat ini kira-kira adalah di Desa Prawata, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Oleh karena itu, Raden Mukmin terkenal dengan sebutan Sunan Prawata.
Pemerintahan Sunan Prawata juga terdapat dalam catatan seseorang Portugis bernama Manuel Pinto. Pada tahun 1548, Manuel Pinto singgah di Jawa sepulang mengantar surat untuk Askup Agung Pastor Vicente Vieges di Makassar. Ia sempat bertemu dengan Sunan Prawata, dan mendengar rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti Sultan Turki. Sunan Prawata juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana itu berhasil digagalkan oleh bujukan Manuel Pinto.
Cita-cita Sunan Prawata pada kenyataannya tidak pernah terlaksana. Ia lebih ahli dalam agama daripada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu, daerah bawahan Demak yang dengan susah dikuasai oleh Ayahnya, Trenggana, berkembang bebas, seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik. Sedangkan, Demak tidak mampu menghalanginya. Akhirnya, bukannya semakin berkembang wilayah kekuasan Demak, malah yang terjadi justru kemunduran Kerajaan Demak.
Arya Penangsang
Terdapat sebagian sejarawan berpendapat bahwa raja-raja Kerajaan Demak hanya berkhir pada masa Sunan Prawata. Namun, sebagian sejarawan lainnya mengemukakan pendapat bahwa raja terakhir Kerajaan Demak adalah Arya Penangsang yang sering disebut dengan Arya Jipang. Karena, ia tinggal di wilayah Jipang yang masih berada di wilayah Kerajaan Demak. Pendapat bahwa Arya Penangsang menjadi Kerajaan Demak berakhir bisa dianggap logis. Mengingat sesudah berhasil membunuh Sunan Prawata melalui utusannya yakni Rangkud, Arya Penangsang menobatkan diri sebagai raja di Demak dengan pusat pemerintahan di Jipang pada tahun 1549.
Ketika Arya Penangsang yang pula membunuh Pangeran Kalinyamat (istri Ratu Kalinyamat) tersebut menjadi raja Demak, Adipati Hadiwijaya dari Pajang berniat melakukan pemberontakan itu tidak hanya didorong karena ingin menjadi raja, melainkan pula karena permintaan Ratu Kalinyamat yang suaminya dibunuh Arya Penangsang. Karena tidak ingin merealisasikan tujuannya sendiri, Adipati Hdiwijaya membuka sayembara di mana bagi yang bisa membunuh Arya Penangsang akan mendapat tanah Mentaok dan Pati. Mendengar pengumuman dari Adipati Hadiwijaya itu Pamanahan, Panjawi dan Danang Sutawijaya yang mendapatkan dukungan dari Juru Mrentani menyatakan diri untuk mengikuti sayembara itu. Singkat kata, mereka berhasil membunuh Arya Penangsang di Kali Bengawan Sore pada tahun 1549.
Namun pendapat bahwa Arya Penangsang tewas di Sungai Bengawan Sore itu ditentang oleh segelintir pendapat yang menyatakan bahwa Arya Penangsang tidak tewas dalam peperangan melawan Pemanahan, Penjawi, Danang Sutawijaya dan Juru Mrentani melainkan ,elarikan diri ke Palembang. Pendapat inni berdasarkan makam di Palembang yang diduga sebagai makam Arya Penangsang.
Demak sebagai Pusat Peradaban Agama dan Peradaban Islam
Demak yang berdiri pada paruh kedua abad ke-15 itu tidak saja berkembang sebagai pusat lalu lintas pelayaran dan perdagangan, tetapi juga sebagai pusat ibadat bagi umat Islam yang baru timbul. Baabd Tanah Jawi menjelaskan bahwa sesuai dengan persan Suanan Ampel segera setelah selesai membuka hutan rawa-rawa Glagahwangi, Raden Patah mendirikan masjid. Masjid Demak dan Kerajaan Islam yang pertama itu tidak dapat dipisahkan. Masjid Demak telah menjadi pusat kerajaan Isalam pertama di Jawa. Mungkin sekali Raja-Raja Demak memandang Masjid Demak sebagai lambang kerajaan Islam mereka. Politik ekspansi Raja-Raja Demak pada masa kejayaan yang mampu menjangkau jauh memasuki Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada dasarnya dijiwai dan disemangati oleh semangat keagamaan serta merupakan wujud dari dakwah agama. Ketika kekuasaan Raja-Raja Demak itu sendiri jatuh pada paruh kedua abad ke-16 oleh karena kesetiaan agama itu telah berurat akar, maka Masjid Demak tetap dipandang sebagai pusat kehidupan beragama di Jawa sampai sekarang.
Sebagai masjid kerajaan, Masjid Demak memperoleh kedudukan sebagai Masjid Agung. Menurut tradisi sejarah Jawa, Masjid Demak itu dibangun oleh para wali atau walisongo hanya dalam satu malam saja. Alkisah salah satu di antara keempat tiang utamanya (saka guru) terbuat dari tatal (yang sebenernya adalah potongan-potongan balok yang diikat menjadi satu). Tiang tatal ini merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Masjid Demak dipandang sebagai lambang kesatuan kerajaan dan umat Islam.
Usaha untuk menjadikan Demak sebagai pusat Kerajaan Islam dinyatakan dengan penggunaan gelar dan nama Arab oleh Raja-raja Demak. Sunan Ampel menganugerahkan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah kepada Raja Demak yang pertama. Sunan Gunungjati menganugerahkan gelar Sultan Ahmad Abdu’I Arifin kepada Raja Trenggana yang pada waktu itu berkunjung ke Cirebon. Bentuk-bentuk peradaban Islam yang masih hidup sampai sekarang yaitu wayang, topeng, gamelan, tembang macapat, seni dan teknik pembuatan keris dan lain-lainnya dipandang sebagai hasil penemuan dan ciptaan para wali. Peranan Islam dalam bentuk-bentuk kesenian tersebut yaitu nampak pada sekularisasi terhadap unsur-unsur atau sifat sakralnya. Seni wayang dan gamelan misalnya menjadi kehilangan kesakralannya. Demikianlah, apabila proses Islamisasi telah membawa sekularisasi terhadap peradaban dan kesenian, maka sekuralisasi it pada dasarnya merupakan awal perkembangan peradaban dan kesenian Indonesia modern, yang justru dirintis oleh para wali.
Kejayaan dari Kerajaan Demak
Titik awal kejayaan Demak sebenarnya dimulai dari peristiwa ditaklukannya Majapahit oleh Demak, sebab dari peristiwa penaklukan itu pada nyatanya membuat mata kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadi tertunduk memandang kekuatan Demak, setalah peristiwa itu pula juga negara-negara bawahan Majapahit yang tersebar di Nusantara secara otomatis menjadi bawahan Demak.
Luasnya kekuasaan Majapahit yang diwarisi oleh kerajaan Demak ini rupanya dimanfaatkan benar-benar oleh Demak, Demak memanfaatkan upeti yang didapat dari kerajaan-kerajaan Bawahannya untuk memperkuat armada tempurnya, kekuatan tempur Demak tercatat pada peristiwa pengiriman Ribuan tentara disertai beberapa puluh Kapal perang Demak ke Malaka untuk menyerang Portugis dan peristiwa penyerangan Demak ke Galuh, Sunda Kelapa dan Banten bersama sekutunya kerajaan Cirebon.
Selain itu juga kekayaan Demak yang dihasilkan dari penerimaan upeti dari kerajaan-kerajaan bawahanya ternyata digunakan juga untuk membiyayai ongkos penyebaran agama Islam. Bahkan saking seriusnya Demak membuat semacam tim Pendakwah yang ditugaskan Khusus untuk menyebarkan Islam dipulau Jawa yang diketuai oleh Walisanga, dan benar saja ternyata pada kemudianya seluruh Jawa dapat di Islamkan oleh Demak melalui kiprah tim pendakwah yang diketuai para Walisanga itu. Masa inilah yang disebut sebagai masa Kejayaan Kerajaan Demak, yaitu ketika Demak diperintah oleh Sultan ke I hingga Sultan ke III (Fatahillah, Pati Unus dan Sultan Trenggana), dari mulai tahun 1475 sampai dengan 1546 masehi.
Kemunduran Kerajaan Demak
Keruntuhan Kerjaaan Demak dimulai setelah peristiwa kemangkatan Raja Ke-3 Demak Sultan Trenggana. Setelah kewafatanya pada Tahun 1546, yang menjadi Sultan Demak selanjutnya adalah Sunan Prawata anak dari Terenggana. Ketika Sunan Prawata menjadi Raja Demak yang ke 4 inilah peristiwa tak terduga-duga terjadi. Rupanya Sunan Prawata bersama istrinya dibunuh oleh Arya Penangsang melalui pengikutnya.
Perlu diketahui bahwa Arya Penangsang ini sebenarnya anak dari Pangeran Surawiyata, yang dahulu dibunuh oleh Sultan Trenggana, Dahulu yang berhak menjadi Sultan ke 3 Demak sebenarnya bukan Trengana melainkan ayah dari Arya Penangsang, namun demikian ayah Arya Penangsang dibunuh oleh Trenggana sebelum naik tahta, sehingga pada waktu itu yang naik tahta menjadi Raja ke 3 Demak adalah Trenggana.
Dengan demikian maka dapatlah dipahami bahwa Arya Penangsang sebagai pihak yang merebut hak tahtanya dari keturunan Trenggana. Setelah peristiwa Pembunuhan itu kemudian Arya Penangsang memproklamirkan diri menjadi Raja ke 5 Demak. Namun untuk menghindari balas Dendam dari keluarga Trenggana, mulai saat itu pusat pemerintahan kerajaan dialihkan ke Jipang.
Ketika menjadi Raja Demak yang berkedudukan di Jipang, Arya Penangsang bersikap keras terhadap para Adipati yang masih Pro Keluarga Trenggana bahkan beberapa Adipati yang kedapatan masih Pro Keluarga Trenggana kemudian dibunuhnya.
Menghadapi tingkah Arya Penangsang yang keras tersebut, akhirnya para Adipati yang tidak menyukai Arya Penangsang bersekutu melakukan pemberontakan, pemberontakan ini dipimpin oleh Adipati Pajang yang bernama Jaka Tingkir. Pemberontakan yang dipimpin Adipati Pajang kemudian sukses, bahkan dalam pemberintakan ini Arya Penangsang dapat dibunuh.
Setelah peristiwa terbunuhnya Raja Demak ke-5 itu, kemudian kerajaan Demak dinyatakan musnah. Sebab setelah peristiwa suksesnya pemberontakan itu, ternyata Adipati Pajang kemudian memproklamirkan Pajang sebagai kerajaan baru pengganti Demak dan ia menobatkan dirinya menjadi Raja Pajang pertama.
KERAJAAN PAJANG
Sejarah Berdirinya Kerajaan Pajang
Berdirinya kerajaan Pajang pada akhir abad ke XVI M, merupakan tanda berakhirnya kerajaan Islam yang berpusat di pesisir Utara Jawa yang kemudian bergeser masuk ke daerah pedalaman dengan corak agraris. Ketika berbicara mengenai kerajaan ini, maka erat kaitannya dengan keruntuhan kerajaan Demak. Di akhir kekuasaan kerajaan Demak, terjadi peperangan antara Aryo Penangsang dan Joko Tingkir (menantu Sultan Trenggono). Peperangan itu terjadi pada tahun 1546 M, ketika sultan Demak telah meninggal dunia.
Pertempuran tersebut kemudian dimenangkan oleh Jaka Tingkir. ketika terjadi konflik antara Aria Penangsang dan Joko Tingkir (Hadiwijaya), sebenarnya sunan Kudus kurang setuju dengan Hadiwijaya. Namun hal tersebut kandas, ketika Jaka Tingkir berhasil memindahkan pusat kerajaan Demak ke daerah Pajang. Pengesahan Joko Tingkir atau biasa disebut dengan Hadiwijaya menjadi sultan pertama kerajaan ini dilakukan oleh Sunan Giri. Sebelum resmi mendirikan kerajaan ini, Jaka Tingkir yang berasal dari daerah Pengging ini, sudah memegang jabatan sebagai penguasa di daerah Pajang pada masa Sultan Trenggono. Kerajaan ini juga dinilai sebagai pelanjut dan pewaris dari kerajaan Demak. Kerajaan Pajang terletak di daerah Kertasura dan merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa. Kerajaan Pajang ini tidak berusia lama, karena kemudian bertemu dengan suatu kerajaan Islam besar yang juga terletak di Jawa Tengah yaitu kerajaan Mataram.
Pada awal berdirinya, wilayah kekuasaan Pajang hanya meliputi daerah Jawa Tengah. Hal itu disebabkan karena setelah kematian Sultan Trenggono, banyak wilayah jawa Timur yang melepaskan diri. Namun pada tanggal 1568 M, Sultan Hadiwijaya dan para Adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam Kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang diatas negeri – negeri Jawa Timur, maka secara sah kerajaan Pajang telah berdiri. Selanjutnya, kerajaan Pajang mulai melakukan ekspansi ke beberapa wilayah, meliputi juga wilayah Jawa Timur. Berpindahnya kerajaan Islam dari Demak ke Pajang merupakan kemenangan Islam Kejawen atas Islam ortodoksi. Setelah berkuasa beberapa waktu, kerajaan ini akhirnya mencapai masa kejayaan pada masa raja pertama mereka, yaitu sultan Hadiwijaya. Namun pada perkembangannya, kerajaan ini kemudian mengalami masa disintegrasi setelah sultan Hadiwijaya meninggal pada tahun 1582 M.
Raja-Raja Kerajaan Pajang
Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya)
Nama kecil Jaka Tingkir adalah Mas Krebet. Hal tersebut dikarenakan ketika kelahiran Jaka Tingkir, sedang ada pertunjukan wayang beber di rumahnya. Saat remaja, ia memiliki nama Jaka Tingkir. Nama itu dinisbatkan pada tempat dimana ia dibesarkan. Pada perkembangannya, Jaka Tingkir menjadi menantu dari Sultan Trenggana (Sultan Kerajaan Demak). Setelah berkuasa di Pajang, ia kemudian mendapat gelar “Hadiwijaya”. Jaka Tingkir berasal dari daerah Pengging, di Lereng Gunung Merapi. Jaka Tingkir juga merupakan cucu dari Sunan Kalijaga yang berasal dari daerah Kadilangun.
Melalui pemberontakan yang kemudian menjadi akhir dari kerajaan Demak, Jaka Tingkir berhasil mendirikan kerajaan Islam baru. Meskipun tidak lama, namun bukan berarti kerajaan ini tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap perkembangan Islam di Jawa Tengah, tepatnya di daerah pedalam Jawa Tengah. Di bawah pimpinanya, kerajaan ini mengalami beberapa kemajuan. Salah satu kemajuannya adalah usaha ekspansi wilayah kekuasaan, seperti ekspansi ke daerah Madiun. Selain itu, Pajang juga berhasil melakukan ekspansi ke daerah Blora pada tahun 1554 M dan daerah Kediri tahun 1577 M. Pada tahun 1581 M, Jaka Tingkir berhasil mendapatkan pengakuan dari seluruh adipati di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada masa pemerintahannya jugalah mulai dikenal di daerah pesisir, yaitu kesusastraan dan kesenian dari keraton yang sudah terkenal sebelumnya.
Kesusastraan dan kesenian keraton tersebut sebelumnya berkembang di Demak dan Jepara. Selain itu, yang terpenting adalah pengaruh Islam yang kemudian menjalar cepat keseluruh daerah pedalaman, dengan seorang tokoh pelopor yaitu Syekh Siti Jenar. Sedangkan di daerah Selatan, Islam disebarkan oleh Sultan Tembayat. Pada saat ini terdapat tulisan tentang sajak Monolistik Jawa yang dikenal dengan Nitti Sruti. Diadakannya pesta Angka Wiyu. Selain itu, kesusastraan Jawa juga dihayati dan dihidupkan di Jawa Tengah bagian Selatan. Dapat dikatakan bahwa pada masa inilah, kerajaan Pajang mengalami masa kejayaan, sebelum akhirnya kerajaan ini mulai mengalami kemunduran setelah kematian sultan Jaka Tingkir atau Hadiwijaya (1582 M).
Arya Pangiri Bergelar Ngawantipuro
Menurut sumber sejarah, Sultan Hadiwijaya memiliki beberapa orang anak, putri-putrinya yang diantaranya dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura dan Arya Panalad Tuban. Adapun putri-putrinya dinikahkan dengan Arya Pangiri, Bupati Demak. Arya Pangiri sebenarnya ialah anak Sunan Prawata, yang seharusnya memang menggantikan Trenggana menjadi Raja Demak. Dengan demikian, Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir.
Setelah kematian Sultan Prawata, Arya Pangiri kemudian diasuh oleh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara. Setelah dewasa,Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwiaya, dan dijadikan sebagai Bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya pada akhir tahun 1582, terjadi perebutan tahta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri dengan dukungan Panembahan Kudus (pengganti Sunan Kudus). Alasan Panembahan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja. Akhirnya, Pangeran Benawa, sang pangeran mahkota, disingkirkan dan dan menjadi Bupati Jipang. Arya Pangiri menjadi Raja Pajang kedua sejak awal tahun 1583, dan bergelar Sultan Ngawantipura.
Selama memerintah Pajang, dikisahkan bahwa Arya Pangiri hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Ia melanggar wasiat mertuanya untuk tidak membenci Sriwijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bogis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Tidak hanya itu, Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang, mengabdi pada Pangeran Benawa.
Pangeran Benawa Bergelar Prabuwijoyo
Pangeran Benawa adalah Raja Ketiga Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, dan bergelar Sultan Prabuwijaya. Ia adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, Raja Pertama Pajang. Sejak kecil, ia dipersaudarakan dengan Sriwijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kerajaan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati, yang menikah dengan Mas Jolang putra Sriwijaya. Dyah Benowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram. Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito (Rangawarsita), pujangga-pujangga besar Kesunanan Surakarta.
Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Adapun latar belakang Pangeran Benawa naik tahta menggantikan Arya Pangiri adalah dilandasi keprihatinan terhadap perilaku Arya Pangiri terhadap rakyat Pajang. Selain itu, Pangeran Benawa adalah putra mahkota sah Kerajaan Pajang, yang seharusnya tahta Pajang jatuh kepadanya setelah kematian Sultan Hadiwijaya.
Atas keprihatinannya terhadap rakyat Pajang karena tidak diperlakukan dengan adil oleh Arya Pangiri, maka pada tahun 1588, Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari tahta Pajang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya pun terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Kemudian, Pangeran Benawa menawarkan tahta Pajang kepada Sutawujaya. Namun, Sutawijaya menolaknya, ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik tahta menjadi raja baru di Pajang bergelar Prabuwijaya.
Kejayaan Kerajaan Pajang
Kerajaan Islam Pajang sendiri mengalami masa keemasan atau masa kejayaan kerajaan Pajang adalah pada masa Sultan Hadiwijaya. Ada banyak pencapaian yang berhasil diraih pada masa Sultan Hadiwijaya. Perpindahan kekuasaan Islam Demak ke Pajang sendiri seakan menjadi sebuah simbol dari kemenangan Islam kejawen atas Islam ortodok pada masa itu.
Jaka Tingkir telah menjadi penguasa Pajang itu dengan segera megambil alih kekuasaan. Karena anak sulung Sultan Trenggana yang menjadi pewaris tahta Kesultanan, susuhan Prawoto dibunuh oleh kemenakannya, Aria Penangsang yang waktu itu menjadi penguasa di Jipang (sekarang Bojonegoro). Setelah itu, ia memerintahkan agar semua benda pusaka Demak dipindahkan ke Pajang. Setelah menjadi raja yang paling berpengaruh di pulau Jawa, ia bergelar Sultan Adiwijaya. Pada masanya sejarah Islam di pulau Jawa mulai dalam bentuk baru, titik politik pindah dari pesisir (Demak) ke pedalaman.
Peralihan pusat politik itu membawa akibat yang sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam di Jawa. Sultan Adiwijaya memperluas kekuasaan pemerintahannya di tanah pedalaman ke arah Timur sampai daerah Madiun, di aliran anak sungai Bengawan Solo yang terbesar. Setelah itu, secara berturut-turut ia dapat menundukkan Blora (1554) dan Kediri (1577). Pada tahun 1581, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai Sultan Islam dari raja-raja perpenting diJawa Timur. Pada umumnya hubungan antara keratin Pajang dan raja-raja Jawa Timur memang bersahabat. Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya, kekusastraan dan kesenian yang sudah maju di Demak, dan Jepara lambatlaun dikenal di pedalaman Jawa. Pengaruh agama Islam yang kuat di pesisir dan menjalar tersebar ke daerah pedalaman.
Kemunduran Kerajaan Pajang
Sepeninggal Sultan Adiwijaya pada 1587 itu Kerajaan Pajang ditaklukkan oleh negara bawahannya, Mataram. Keterangan mengenai hal ini pada umumnya hanya terdapat dalam buku babad, terutama Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh para pujangga Mataram satu abad kemudian. Sesuadah Sultan Adiwijaya masih ada lima raja yang berturut-turut memerintah di Pajang. Ahli waris pertama Kerajaan Pajang ialah tiga putra menantu Sultan, yakni Raja di Tuban, Raja di Demak dan Raja di Arisbaya, di samping putranya sendiri, Pangeran Benawa, yang masih sangat muda ketika Ayahnya meninggal dunia. Dalam hubungan ini Sunan Kudus menggunakan wibawa kerohaniannya untuk mengangkat Aria Pangiri, anak Suduhan Prawata yeng terbunuh, Raja Demak untuk menggantikan sebagai Raja Pajang. Jelas usaha ini dimaksudkan untuk mengembalikan kekuasaan Kesultanan Islam di Jawa kepada keturunan langsung dari Demak. Namun Aria Pangiri sebagai Sultan kedua di Pajang tidaklah bertahan lama. Ia berhasil disingkirkan oleh Pangeran Benawa dengan dukungan dari Senapati Mataram.
Menurut Babad Mataram Pangeran Benawa menyerahkan hak waris kerajaannya kepada Senapati Mataram yang dianggapnya sebagai kakak. Tetapi Senapati Mataram ingin tetap tinggal di Mataram dan ia hanya minta perhiasan emas intan kerajaan Pajang. Pangeran Benawa dikukuhkan sebagai Raja Pajang di bawah perlindungannya. Hanya setahun saja Pangeran Benawa menjabat sebagai raja, kemudian ia meninggalkan kerajaan untuk membaktikan diri pada agama di Parakan (daerah Kedu Utara). Oleh Senapati Pajang dipercayakan kepada seorang Pangeran muda di Mataram, Gagak Bening. Pengeran ini banyak melakukan perombakan dan perluasanIstana Pajang. Ia meinggal kira-kira tiga tahun kemudian, 1591.
Sebagai penggantinya ditunjuk putra Pangeran Benawa, cucuc almarhum Sultan Adiwijaya. Pangeran Benawa II masih sangat muda ketika memulai memerintah. Pada masa-masa pemerintahan raja-raja Mataram berikutnya seperti pada masa Panembahan Seda-ing-Krapyak, Pangeran Benawa II ini juga tanpa mengalami kesulitan yang besar dalam memerintah.
Pemberontakan Pajang terhadap Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung telah menghancurkan Pajang untuk selama-lamanya. Pemberontakan ini terjadi pada 1617-1618 dan memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang tidak puas di Mataram. Pemebrontakan Pajang ini mudah dipahami pula, karena secara ekonomis Pajang senantiasa ditekan, dahulu oleh Demak dan sekarang oleh Mataram. Menurut catatan VOC pemberontakan terjadi pada masa musim kering yang luar biasa hebatnya yang berlangsung dari 1618-1624.
Sebagai hukuman dari pemberontakan yang berupa tidak menyetorkan hasil bersnya kepada Mataram, sawah-sawah di Pajang yang padinya sedanga menguning dibakar habis oleh pasukan Mataram. Para petani yang terlibat dalam pemberontakan itu kemudian diangkut secara paksa ke Mataram. Tenaga mereka dimanfaatkan dalam pembangunan keraton baru di Pleret yang letaknya 1 Km sebelah timur laut Ibukota Mataram yang lama, Karta. Sesudah itu Pajang tak lagi berarti baik politik ataupun ekonomi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Demak adalah kesultanan atau Kerajaan Islam pertama di pulau jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah (1478-1518) pada tahun 1478. Kerajaan Demak dilatarbelakangi oleh melemahnya pemerintahan Kerajaan Majapahit atas daerah-daerah pesisir utara Jawa. Para pemimpin kerajaan demak adalah Raden Patah, beliau adalah pendiri Kerajaan Demak dan murid Sunan Ampel yang menjadi raja pertama dan digantikan oleh anaknya Pati Unus. dibawah komandonya kerajaan Demak menyerang malaka yang dikuasai portugis sehingga beliau dijuluki Pangeran Sabrang Lor, pada tahun 1521 Pangeran Sabrang Lor meninggal dan di gantikan oleh Sultan Trenggana. Pada masa kepemimpinannya dianggap sebagai masa keemasan kerajaan Demak karena memiliki daerah yang luas mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur dan meluaskan pengaruh sampai Kalimantan.
Setelah itu digantikan oleh Raden Mukmin, beliau Memimpin antara tahun 1546-1549 dan memindahkan Ibukota dari Bintara ke bukit Prawata. Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran karena terjadinya perebutan kekuasaan. Perebutan tahta Kerajaan Demak ini terjadi antara Sunan Prawata dengan Arya Penangsang. Perebutan kekuasaan ini berkembang menjadi konflik berdarah dengan terbunuhnya Sunan Prawata oleh Arya Penangsang. Arya Penangsang juga membunuh adik Sunan Prawata, yaitu Pangeran Hadiri. Konflik berdarah ini akhirnya berkembang menjadi Perang Saudara. Dalam pertempuran ini, Arya Penagsang terbunuh sehingga tahta Kerajaan Demak jatuh ke tangan Jaka Tingkir. Setelah itu, Jaka Tingkir memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang.
Islamisasi terjadi setelah Jaka Tingkir menjaadi Raja yang paling berpengaruh di Pulau Jawa. Peralihan pusat politik itu membawa akibat yang sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam di Jawa. Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya, kekusastraan dan kesenian yang sudah maju di Demak, dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa. Pengaruhagama Islam yang kuat di pesisir dan menjalar tersebar ke daerah pedalaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Soedjipto. 2013. Babad Tanah Jawi. Yogjakarta: Laksana.
Daliman, A. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Sri Wintala Achmad, Sri Wintala. 2017. Sejarah Islam di Tanah Jawa. Yogyakarta: Aksara.
http://wawasansejarah.com/kerajaan-pajang/ (Diakses pada Minggu, 9 Desember 2018 pukul 10.19 )
http://www.academia.edu/34632384/Makalah_islamisasi_kerajaan_pajang (Diakses pada Minggu, 9 Desember 2018 pukul 10.55)
https://www.historyofcirebon.id/2017/12/kerajaan-demak-masa-pendirian-kejayaan.html (Diakses pada Sabtu, 8 Desember 2018 pukul 09. 59)
Komentar
Posting Komentar