Makalah Psikologi Dakwah (Karakteristik Manusia)
KARAKTERISTIK MANUSIA
Makalah
ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata
kuliah: Psikologi Dakwah
Dosen
Pengampu: Drs. H. Nurbini, M.S.I

Disusun oleh :
Zahrotul Jannaah (1701016043)
Lutfi Alawiyah (1701016065)
Cantika Diah Pralita (1701036099)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial karena ia
melihat dari aspek sosialnya. Sebagian lagi berkomentar bahwa manusia adalah
binatang cerdas yang menyusui atau makhluk yang bertanggung jawab atau makhluk
membaca dan tertawa, dan lain-lain sebagainya. Jika diamati lebih mendalam
sifat-sifat dan karakter manusia, bahwa manusia itu mempunyai bahasa yang
teratur, mempunyai keahlian untuk berbicara, berfikir, mamiliki kepekaan
sosial, mempunyai apresiasi estetika dan rasa yang tinggi serta mampu melakukan
ritual ibadah kepada sang pencipta.
Pembahasan hakekat manusia dengan
indikasi bahwa ia merupakan makhluk ciptaan di atas bumi sebagaimana semua
benda duniawi, hanya saja ia muncul di atas bumi untuk mengejar dunia yang
lebih tinggi. Manusia merupakan makhluk jasmani yang tersusun dari bahan
meterial dan organis. Kemudian manusia menampilkan sosoknya dalam aktivitas
kehidupan jasmani. Selain itu, sama halnya dengan binatang, manusia memiliki
kesadaran indrawi. Namun, manusia memiliki kehidupan spiritual-intelektual yang
secara intrinsik tidak tergantung pada segala sesuatu yang material.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep psikologi tentang
manusia menurut ahli psikologi!
2. Bagaimana konsep manusia perapektif
Al-Qur’an?
3. Bagaimana karakteristik psikologi da’i dan mad’u?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konsep Psikologi Manusia Menurut Para
Ahli
Manusia adalah hewan yang berfikir (al-insan hayawan al-nathiq). Jika
manusia menggunakan pikiran, akal dan hatinya, maka ia adalah makhluk yang
istimewa di muka bumi ini, karena ia memiliki pertimbangan-pertimbangan sebelum
melskuksn sesuatu.
Manusia memiliki kepribadian yang unik,
ia adalah makhluk sosial (ijtima’iyyun bi
at thobi’i) dan juga mahkluk budaya (madaniyyun
bi at thobi’i). Ada empat pendekatan yang akan dibahas disini, yaitu
pendekatan yang mengetengahkan teori psikoanalisa dengan konsep manusia sebagai
manusia berkeinginan (Homo Volens), teori
behaviourisme dengan konsepsi manusia mesin (Homo Mechanicus), teori kognitif dengan konsepsi manusia berpikir (Homo Sapiens) dan teori humanisme dengan
konsepsi manusia yang mengerti makna kehidupan (Homo Ludens).
1. Teori Psikoanalisa
Toko
dari teori ini adalah Sigmund Freud. Fokus perhatian teori ini ditujukan kepada
struktur manusia, yakni kepada totalitas kepribadian manusia, bukan pada
bagian-bagiannya yang terpisah. Menurut teori psikoanalisa, perilaku manusia
merupakan hasil interaksi dari tiga subsistem dalam kepribadian manusia, yaitu Id, Ego dan Superego.
a. Id
adalah bagian kepribasian yang menyimpan dororngan-dororngan biologis manusia. Id merupakan pusat instink, atau hawa
nafsu menurut bahasa agama.
b. Ego
adalah subsistem yang berfungsi menjebatani tuntutan Id dengan realitas di dunia luar.
c. Superego
menyerap norma-norma sosial dan kultural masyarakat. Ia bukan hanya rasional
tapi juga bekerja atas prinsip-prinsip nilai yang normatif. Oleh karena itu Superego dapat disebut sebagai hati
nurani dan sebagai pengawas kepribadian.
2. Teori Behaviourisme
Teori
behaviourisme memfokuskan perhatiannya pada perilaku yang nampak saja, yakni
perilaku yang dapat diukur dan dilukiskan. Jadi, nampak sekali bahwa
behaviourisme merupakan reaksi terhadap teori psikoanalisa.
Behaviourisme
tidak mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional.
Behaviourisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku manusia dikendalikan
oleh lingkungan. Manusia dalam pandangan teori behaviourisme adalah makhluk
yang perilakunya sangat dipengaruhi oleh pengalamannya. Manusia menurut teori
ini dapat dibentuk dengan menciptakan lingkungan yang relevan. Seorang anak
misalnya dapat dibentuk perilakunya menjadi seorang penakut jika secara
sistematis ia ditakut-takuti. Demikian juga manusia dapat dibentuk menjadi
pemberani, disiplin, cerdas, dungu dan sebagainya dengan menciptakan lingkungan
yang relevan.
Teori
ini memandang bahwa manusia sangat rapuh tak berdaya menghadapi lingkungan. Ia
dibentuk begitu saja oleh lingkungan tanpa mampu perlawanan. Aristoteles, yang
dianggap sebagai cikal bakal teori behaviourisme memperkenalkan teori tabula
rasa, yakni bahwa manusia itu tak ubahnya meja lilin yang siap dilukis dengan tulisan apa saja. Jika kita berpegang
dengan teori ini maka kita dapat mengatakan bahwa mahasiswa dapat dibentuk
menjadi apa saja (penurut, pemberontakan, dsb) oleh dosennya atau oleh
universitasnya, dan untuk itu kurikulum serta alat-alat stimulasinya bisa
dirancang.
3. Teori Psikologi Kognitif
Teori psikologi kognitif menempatkan manusia
sebagai makhluk yang bereaksi secara aktif terhadap lingkunga, yakni dengan
cara berfikir. Manusia menurut teori ini disebut sebagai Homo Sapiens, yakni manusia yang brfikir.pusat perhatian teori
kognitif adalah pada bagiamana manusia memberi makna pasa stimuli.
Misalnya
orang yangs elalu ditakut-takuti, tidak pasti menjadi penakut tetapi boleh jadi
ia akan berfikir bahwa sesuatu yang menakutkan itu harus dilawan. Ia pun
mungkin berfikir bahwa ia ingin membalik keadaan yaitu justru ingin membuat
takut kepada orang yang suka menakut-nakuti. Jadi menurut teori ini, manusia
tidak secara otomatis memberikan respon kepada stimuli, tidak otomatis takut jika ditakut-takuti, tidak otomatis
senang jika ada orang tersenyum kepadanya, tudak otomatis patuh jika atasan
menyuruhnya, tetapi ia aktif menafsirkan stimuli
yang dihadapinya. Ia berfikir apakah orang yang menakut-nakuti itu memang
orangnya kuat, apakah senyuman itu senyuman kasih sayang atau senyum gombal,
apakah perintah atasan itu pantas dikerjakan atau tidak. Jadi, secara psikologi
manusia adalah organisme yang aktif menafsirkan, bahkan mendistori lingkungan.
4. Teori Psikologi Humanisme
Jika
teori psikoanalisa dan behaviourisme kurang menghargai manusia, karena dalam
psikoanalisa, manusai dipandang hanya melayani keinginan bawah sadarnya,
behaviourisme memandang manusia sebagai makhluk yang takluk kepada lingkungan,
maka psikologi humanistik memandang manusia sebagai eksistensi yang positif dan
menentukan. Manusia sipandang sebagai makhluk yang umik yang memiliki cinta,
kreativitas, nilai dan makna serta pertumbuhan pribadi. Pusat perhatian dalam
teori ini adalah pada makna kehidupan, dan masalah ini dalam psikologi
humanistik disebut sebagai Homo Ludens,
yaitu manusia yang mengerti makna kehidupan,.
Psikologi
humanistik memandang positif manusia . manusia selalu berusaha untuk
mempertahankan dan meningkatkan kualitas dirinya. Manusia juga cenderung ingin
selalu mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan yang bermakna. Setiap
individu bereaksi terhadap situasi yang dihadapinya (stimuli) sesuai dengan konsep diri yang dimilikinya, dan dunia di
mana ia hidup. Kecenderungan batiniah manusia selalu menuju kepada kesehatan
dan keutuhan diri. Jadi, dalam keadaan normal, manusia cenderung berperilaku
rasional dan membangun. Ia juga cenderung memilih jalan (pekerjaan, karier atas
jalan hidup) yang mendukung pengembangan dan aktualisasi diriya.
Dalam
kehidupan sehari-hari, terkadang kita jumpai seorang gadis dari keluarga kaya,
tapi justru memilih menjadi seprang guru SD dikampung terpencil, seorang
mahasiswa yang cerdas tapi justru aktif dalam kegiatan sosial di daerah kumuh
sampai studinya tertinggal oleh kawan-kawannya yang kurang cerdas, seorang
pengusaha yang sukses yang kemudian lebih senang menjadi da;i dsb.[1]
B. Konsep Psikologi dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an manusia disebut dengan
nama insan (makhluk psikologi), basyar (sebutan umum karakteristik), bani Adam (biologis). Nama Insan berasal dari kata nasiyah-yansa (lupa), uns (mesra) dan nasa yanusu (bergejolak).
1.
Al-Basyar
Dalam
al-Qur'an, kata al-basyar, baik dalam
bentuk mufrad atau tasniyah berulang sebanyak 37 kali dan tersebar dalam 26
surat. Satu kali dalam bentuk tasniyah dan 36 dalam bentuk mufrad. Dari 37 kali
kata al-basyar berulang dalam al-Qur'an, hanya 4 kali disebutkan dalam
surah-surah Madaniyah, yaitu pada Q.S. Ali 'Imran/3: 47, 79, Q.S. al Maidah/5:
18 dan Q.S. al-Tagabun/64: 6. Sedangkan 33 kali disebutkan dalam surah-surah
Madaniyah.
Secara
etimologi al-basyar yang terdiri dari
ba-sya-ra bermakna sesuatu yang
tampak dengan baik dan indah. Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang pada
umumnya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari kata yang sama
lahir kata basyarah yang berarti
kulit. Manusia dinamakan basyarah
karena kulitnya tampak jelas dan berbeda di banding dengan kulit hewan lainnya.
Pada aspek ini, terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang
lebih didominasi bulu atau rambut. Dengan demikian, kata basyar dalam al-Qur'an secara khusus merujuk kepada tubuh dan
lahiriah manusia.
Al-Basyar,
juga dapat diartikan mulasamah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dengan
perempuan. Makna etimologi dapat dipahami adalah bahwa manusia merupakan
makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan,
minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukan kata al-basyar ditujukan Allah kepada seluruh
manusia tanpa terkecuali, termasuk eksistensi Nabi dan Rasul. Eksistensinya
memiliki kesamaan dengan manusia pada umumnya, akan tetapi juga memiliki titik
perbedaan khusus bila dibanding dengan manusia lainnya. Adapun titik perbedaan
tersebut dinyatakan al-Qur'an dengan adanya wahyu dan tugas kenabian yang
disandang para Nabi dan Rasul. Sedangkan aspek yang lainnya dari mereka adalah
kesamaan dengan manusia lainnya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu,
sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan wahyu.
Di
samping itu, ditemukan pula kata basyiruhunna
yang juga berakar kata basyara dengan
arti hubungan seksual. Kata tersebut disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak dua
kali dalam satu surah, yakni Q.S. al-Baqarah/2: 187. Dengan demikian, tampak
bahwa kata basyar dikaitkan dengan
kedewasaan di dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung
jawab. Selain itu, basyar juga mempunyai kemampuan reproduksi seksual. Hal ini
menurut Abd Muin Salim, sudah merupakan fenomena alami dan dapat diketahui dari
pengetahuan biologi. Kenyataan alami menunjukan bahwa reprduksi jenis manusia
hanyalah dapat terjadi ketika manusia sudah dewasa, suatu taraf di dalam
kehidupan manusia dengan kemampuan fisik dan psikis yang siap menerima beban
keagamaa. Jadi konsep yang terkandung di dalam kata basyar adalah
manusia dewasa memiliki kehidupan bertanggung jawab.
2.
Al-Insan
Kata
Al-Insan dalam Al Qur’an digunakan
sebanyak 61 kali. Ada yang mengatakan bahwa al-insan
berasal dari akar nasawa yang berarti bergerak, ada juga yang mengatakan
berasal dari kata anasa yang berarti jinak, dan ada juga yang berkata
berasal dari kata nasiya yang berarti lupa.
Penamaan
manusia dengan kata al-insan yang
berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali
dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau
pelupa. Menurut M. Quraish Shihab, manusia dalam al-Qur’an disebut dengan
al-insan yang terambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis dan
tampak.
Al-insan
digunakan al-Quran untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani
dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang
dimilikinya mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik dan istimewa
lagi sempurna, dan memiliki perbedaan individual antara satu dengan yang lain,
dan sebagai makhluk dinamis, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah
di muka bumi.
Kata
al-insan juga digunakan dalam alQur’an untuk menunjukkan proses kejadian
manusia sesudah Adam. Kejadiannya mengalami proses yang bertahap secara dinamis
dan sempurna di dalam Rahim. Q.S Al-Mu’minun/23:12-14:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن
سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ ﴿١٢﴾ثُمَّ
جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَّكِينٍ ﴿١٣﴾ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ
عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا
فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ
اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ ﴿١٤﴾
Artinya:
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (Rahim), kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”
Penggunaan
kata al-insan dalam ayat ini
mengandung dua makna, yaitu: pertama, makna proses biologis, yaitu
berasal dari saripati tanah melalui makanan yang dimakan manusia sampai pada
proses pembuahan. Kedua, makna proses psikologis (pendekatan spiritual),
yaitu proses ditiupkan ruhNya pada diri manusia.
Hanya
manusialah yang dibekali keistimewaan ilmu pengetahuan, al-bayan (pandai
bicara), al-aql (mampu berpikir), al-tamyiz (mampu menerapkan dan
mengambil keputusan) sehingga siap menghadapi siap menghadapi ujian, memilih
yang baik, mengatasi kesesatan dan berbagai persoalan hidup yang mengakibatkan
kedudukan dan derajatnya lebih mulia dari makhluk-makhluk lainnya.
3.
Al-Ins
Kata
al-ins dalam al-Qur’an digunakan
sebanyak 18 kali, jika merujuk penggunaan al-Qur’an terhadap kata al-ins maka yang dimaksudkan adalah
sesuatu yang tampak.
Sementara
pembahasan tentang al-ins terkait dengan perintah Alah terhadap mereka
untuk melakukan ibadah kepada Allah. Dalam Q.S Az-Zariyat/51:56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾
Artinya:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdikan kepada-Ku”.
Al-ins
diperintahkan untuk beribadah kepada Allah SWT.,
karena potensi untuk membangkang sangat besar.
4.
Al-Nas
Kata
al-nas dinyatakan dalam Al-Qur'an
sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kata al-nas menunjukkan pada
eksistensi manusia sebagai makhluk hidup dan sosial. Secara keseluruhan tanpa
melihat status keimanan atau kekafirannya.
Hal
ini terlihat pada firman Allah QS.Al-baqarah/2: 24
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ
وَلَن تَفْعَلُواْ فَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ ﴿٢٤﴾
Artinnya:"Maka
jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat
membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan
batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir."
Manusia
merupakan satu hakekat yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (ruh, jiwa, akal dan
sebagainya).
Dalam
QS.As-sajadah/32: 6-9 :
ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ ﴿٦﴾الَّذِي أَحْسَنَ
كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنسَانِ مِن طِينٍ ﴿٧﴾ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِن سُلَالَةٍ مِّن مَّاء مَّهِينٍ ﴿٨﴾ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِ
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ
﴿٩﴾
Artinya:"Yang
demikian itu ialah Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha
Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia dan meniupkan
ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur."
5.
Bani
Adam
Secara
harfiah, lafal bani merupakan bentuk flural dari lafal ibn, sedangkan
asal katanya adalah banawa yang bermakna sesuatu yang keluar dari
sesuatu yang lain, seperti anak manusia atau anak lain. Bani bisa juga
dikaitkan dengan makna membangun. Oleh karena itu, ibn bisa bermakna bangunan
karena ia merupakan bagunan bapak dan menjadi penyebab keberadaannya. Dari
makna tersebut, bani dapat diartikan sebagai makhluk yang lahir dari
sperma seorang laki-laki. Jika dikaitkan dengan lafal Adam, maka yang dimaksud
dengan bani Adam adalah anak-anak yang dilahirkan dari Adam dan dari
anak-anak dan seterusnya, sehingga dapat dikatakan bani Adam adalah
keturunan Adam AS.
Dalam
al-Qur’an, kata bani Adam berulang
sebanyak 71 kali, sekali dengan menggunakan ibnai Adam.
Penggunaan ibnai Adam dalam al-Qur’an ditujukan langsung terhadap anak
kandung Adam As, yang diabadikan dalam Al Qur’an yang bercerita tentang dua
saudara kembar Habil dan Qabil yaitu terdapat dalam surah Al Maidah ayat 27-31.
Dengan demikian, makna manusia
dalam istilah al-basyar, al-insan, al-ins, al-nas dan bani Adam mencerminkan
karakteristik dan kesempurnaan penciptaan Allah terhadap makhluk manusia, bukan
saja makhluk biologis dan psikologis melainkan juga sebagai makhluk religus,
makhluk sosial, dan makhluk bermoral serta makhluk kultural yang kesemuanya
mencerminkan kelebihan dan kemuliaan manusia dari pada makhluk-makhluk Tuhan
lainnya.[2]
C. Karakteristik Psikologi Da’i dan Mad’u
1. Psikologi Da’i
a. Motivasi Dakwah
Motivasi
adalah proses dimana perilaku diberikan energi dan diarahkan untuk mencapai
suatu tujuan. Atau kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang dipengaruhi oleh
kebutuhan dan diarahkan pada tujuan tertentu yang telah direncanakan. Motivasi
adalah karakteristik psikologis manusia yang memberikan konstribusi pada
tingkat komitmen seseorang. Hal ini termasuk faktor-faktor yang menyebabkan,
menyalurkan, dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah dan tekad
tertentu. Motivasi yang dimaksud adalah terjadinya perubahan pemahaman,
perasaan, sikap dan perilaku mad’u sesuai pesan dakwah tyang disampaikan oleh
da’i. Motivasi yang membimbing perilaku itu harus difahami sifat dasarnya, yang
menurut Maslow adalah :
1) Dorongan atau motivasi untuk
meningkatkan status dan kualitas diri sebagai
manusia pilihan Allah SWT karena menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
2) Motivasi yang merupakan manifestasi
kecintaanya kepada Rasulullah.
b. Kepribadian Mad’u
Kepribadian
atau personality adalah topeng untuk menggambarkan suatu tingkah laku.
Kepribadian adalah seluruh karakteristik seseorang atau sifat umum banyak orang
yang mengakibatkan pola yang menetap dalam merespon suatu situasi. Kepribadian
merupakan pola khas dari pikiran, perasaan dan tingkah laku yang membedakan
orang satu dengan yang lainya dan tidak berubah lintas waktu dan situasi. Dari definisi diatas maka dalam hubunganya
dengan Da’i, ialah menyangkut pikiran, perasaan dan tingkah laku Da’i dalam
melaksanakan tugas dakwah. Dengan demikian kepribadian Da’i setidaknya harus
memenuhi unsur “good sense, good moral dan good will” yang oleh aristoteles
disebut sebagai “ethos” dan oleh
Hovland disebut “credebility”. Good sense adalah kepribadian yang
berkaitan dengan kemampuan pikir, keahlianya. Artinya setiap da’i dituntut
untuk benar-benar menguasai bidang agama yang akan disampaikan kepada ummat,
disamping kemampuan metode dan performance yang menarik sehingga memotivasi
tumbuhny perhatian terhadap pesan dakwah. Disisi lain, kepribadian Da’i juga dituntut
bisa memenuhi unsur “good moral”, kepribadian
yang mencerminkan kejujuran sehingga menibulkan kepercayaan bagi Mad’u. Moral
tersebut adalah moralitas sebagaimana yang telah dicontohkan rasulullah. Yaitu
kepribadian “Siddiq, Amanah, tabligh, fatonah”. Kepribadian inilah yang menjadi
modal dan model seorang Da’i dalam berdakwah.
Kepribadian
good will, adalah kepribadian yang
berkaitan dengan tujuan, rencana, dan tanggung jawab. Kepribadian Da’i adalah
kepribadian yang menyandarkan aktivitas dakwahnya berdasarkan apa yang
diharapkan dapat dicapai. Apabila Da’i memiliki ketiga sifat tersebut yang
terbimbing oleh Risalah allah dan Rasul-Nya maka akan terjadi kepribadian yang
konsisten. [4]
c. Peran Da’i
Nabi
Muhammad adalah “uswatun hasanah”,
suri tauladan yang paling baik bagi ummat Islam, termasuk dalam melaksanakan
dakwah untuk menyampaikan Risalah Allah. Kehadiran da’i dengan aktifitas dakwahnya pada dasarnya diharapkan bisa
berperan sebagai “Sosial Servicers”,
yang pada giliranyan akan menjadi “Social Changers”. Sebagai Sicial servicers,
kehadiran da’i bisa memberikan
bimbingan pemikiran, perasaan dan perilakuyang diajarkan dalam agama islam.
Jika peran sebagai Social Servicer
dapat dilakukan oleh oleh para da’i maka
besar kemungkinan kehadiran dakwah yang disampaikan dengan tabligh itu berperan
sebagai agen perubahan sosial. Itulah yang disebut “Uswah” kan rasulullah dalam menjalankan dakwah di tengah masyarakat
jahiliyah, yang kemudian merubah masyarakat itu menjadi ummat yang mukmin,
muslim dan muhsin.
2. Psikologi Mad’u
Para
ahli psikologi perkembangan mengkategorikan rentang kehidupan manusia dalam
beberapa kehidupan manusia dalam beberapa periode atau masa, yang amsing-masing
memiliki karakternya sendiri-sendiri. Dari karakter biologis, psikis dan
psikososial masing-masing itulah dakwah islam dapat diterapkan sesuai dengan
karakternya.
a. Karakter Mad’u Masa Pra-natal
Pada
dasarnya kehidupan manusia dimulai sejak masih dalam kandungan ibunya, yaitu
sejak ditiupkan ruh kedalam janin. Perkembangan janin pada usia lima bulan sampai
dengan enam bulan, organ pisik dan psikis sudah mulai berfungsi. Secara
biologis, organ pendengaran sudah berfungsi sehingga dapat merespon irama dan
nada suara ibunya serta bunyi-bunyian dan melodi. Aspek emosi dan kognisi janin
juga sudah mulai tumbuh.
b. Karakter Mad’u Masa Neonatal
Teori preformasionisme
memandang anak yang baru lahir (neonatal) adalah makhluk manusia yang sudah
utuh atau sebagai miniatur orang dewasa. John Locke mengatakan anak bukanlah
baik atau buruk secara bawaan, tetapi anak sama sekali tidak memiliki pembawaan
apapun. Jiwa anak merupakan “tabularasa”, seperti kertas kosong sehingga apapun
pikiran yang muncul dari anak hampir sepenuhnya dari pembelajaran dan
pengalaman mereka. Lingkunganlah yang membentuk jiwa anak melalui proses
asosiasi, repetisi, imitasi, reward dan punishment. Karakter Mad’u masa
neonatal yang penting dicatat untuk kepentingan dakwah islam adalah bahwa anak
sudah mendengar, sudah memiliki perasaan, kesadaran & daya ingat yang baik
sebagai perkembangan masa prenatal. Disinilah pintu masuk dakwah kepada manusia
masa neonatal dimulai dan da’inya adalah orang yang berada disekitarnya,
termasuk pengasuhnya.
c. Karakter Mad’u Masa Bayi
Masa bayi dimulai sejak
periode neonate, selesainya pemotongan tali pusar sampai berumur 1 tahun. Manusia pada masa ini, fungsi biologis yang
paling dominan dalah pendengaran dan penglihatan, sedangkan fungsi psikologis
berupa kemampuan daya ingat dan kesadaran (aspek kognitif) serta perasaan (aspek
afeksi) beekembang sejalan dengan perkembangan usia dan kesehatan fisik biologisnya. Dalam
kaitanya dengan proses dakwah maka pintu msuknya masih dominan lewat
pendengaran dan penglihatan meskipun sentuhan kognisi dan afeksinya mulai
dibentuk. Da’inya masih belum berubah, yaitu orang-orang yang ada disekitarnya.
d. Karakter Mad’u masa Anak Usia 1-2 tahun
Mad’u pada usia ini
merupakan awal penyesuaian diri dengan lingkunganya sehingga aspek biologis,
psikologis dan lingkungan mempunyai peran penting dan sejajar dalam pembentukan
kepribadian anak. Karakter mad’u pada masa ini tidak berbeda denagn orang
dewasa meskipun masih sangat teerbatas. Artinya kemampuan intelektual, sikap
dan emosi anak sudah memungkinkan untuk menerima stimuli ringan-seperti pesan
dakwah dalam bentuk egosentris dan dongeng dan anak memberikan respon dalam
bentuk perilaku.
e. Karakter Mad’u Masa Anak Usia 3-5 tahun
Pada masa anak usia ini
konsep yang stabil dibentuk penalaran mental muncul, egosentrisme mulai kuat,
keyakinan terhadap hal yang magis terbentuk, tetapi belum mampu berfikir secara
operasional. Perangkat tindakan terinternalisasi yang memungkinkan anak melakukan
secara mental apa yang telah dilakukan secara fisik sebelumnya. Supaya anak
menjadi patuh, maka arus dibentuk agar memiliki kedisiplinan yang konsisten,
suatu cara mengajarkan perilaku moral yang diterima kelompok. Itulah cara
dakwah terhadap Mad’u usia balita yang da’inya bisa dari keluarga dan orang
dekatnya maupun guru pra sekolah atau pendidikan anak usia dini. [5]
f. Karakter Mad’u Akhir Masa Kanak-kanak
Mad’u pada masa
kanak-kanak (usia 6-11 tahun) sering dilabeli sebagai “usia yang menyulitkan” karena mad’u
pada usia ini tidak mau lagi menuruti perintah orang tua, tetapi lebih menurut
dengan teman sebayanya. Biasanya anak laki-laki lebih membandel dibandingkan
anak perempuan . meluasnya cakrawala sosial di sekolah menyebabkan faktor baru
mulai mempengaruhi perkembangan kepribadian sehungga ank harus sering
memperbaiki konsep dirinya. Perubahan tidak hanya pada konsep diri saja, tetapi
juga pada sifat-sifat orang lain yang dinilai dan dikagumi serta sifat-sifat
pada diri sendiri. Diri yang ideal bagi anak adalah diri yang diinginkan
seperti tokoh yang diidealkan, tokoh yang diidolakan, oleh sebab itu anak
selalu ingin mencontoh identitas diri tokoh yang diidealkan.
g. Karakter Mad’u Masa Remaja
Remaja atau adolescence
berarti tumbuh menjadi dewasa yang ditandai dengan kemampuan reproduksi. Masa
remaja merupakan periode yang penting dalam keseluruhan rentang kehidupan
manusia, karena perkembangan fisik dan psikis yang cepat sehingga diperlukan penyesuain
mental, pembentukan sikap, nilai dan minat yang sama sekali berbeda dengan masa
kanak-kanak. Orang tua adalah tokoh paling penting dalam pengembangan identitas
diri remaja dan gaya pengasuhan berkolerasi dengan perkembangan identitas diri.
1) Gay pengasuhan demokratis, endorong
remaja berpartisipasi dalam pengambilan keputusan keluarga
2) Gaya pengasuhan otokratis, mengendaliakn
perilaku remaja tanpa memberi peluang untuk mengemukakan pendapat
3) Gaya pengasuhan permisif, memberikan
bimbingan terbatas kepada remaja dengan mengijinkan mengambil
keputusan-keputusan sendiri.
h. Karakter Mad’u Masa Dewasa Awal
Kemampuan kognitif
selama masa dewasa awal lebih menunjukkan adaptasi dengan aspek pragmatis dalam
kehidupan. Namun orang dewasa awal lebih maju penggunaan intelektualitasnya
daripada remaja. Siklus kehidupan sosio emosional masa dewasa awal pada umumnya
baru sampai pada siklus kedua atau ketiga, tergantung pada budaya yang
mengitarinya ini karena masa dewasa era modern memiliki dilema pilihan antara
pekerjaan dan karier yang berarti harus menunda pernikahan, atau mendahulukan
pernikahan.
i.
Karakter
Mad’u Masa Dewasa Madya 40-60 Tahun
Pada masa dewasa madya,
perkembangan kognitif mengalami kemunduran daya pikir walaupun ada strategi
untuk mengurangi kemunduran tersebut. Kemunduran yang terjadi dalam memori
jangka panjang dari pada memori jangka pendek. Proses seperti organisasi dan
pembayangan dapat digunakan untuk mengurangi kemunduran daya ingat. Mad’u pada
masa ini butuh menikmati masa luang. Paruh kehidupan ini waktu khusus adalah
penting karena perubahan fisik yang terjadi dan karena persiapn untuk suatu
pengunduran diri dari suatu aktifitas. Bersantai dan melibatkan diri dalam
aktifitas olahraga, sosial dan keagamaan diwaktu luang akan menghilangkan kebosanan
hidup sehingga justru memperpanjang harapan hidup seseorang.
j.
Karakter
Mad’u Masa Usia Lanjut
Lansia merupakan usia
yang mendekati akhir siklus kehidupan yang dimulai sejak usia 60 tahun sampai
akhir hidup. Masa lansia mengalami berbagi perubahan fisik dan psikis, juga
dihadapkan denagn berbagai tantangan yang kompleks dan harus dihadapinya sendiri.
Tantangan itu antara lain penyesuaian pada masa pensiun, menyesuaikan diri
dengan perubahan jaringan dan dukungan sosial, mengatasi masalah kesehatanya
dan menghadapi kematianya. Tantangan yang lain, disamping menghadapi kematian
diri sendiri, lansia juga kemungkinan menghadapi kematian saudara, pasangan
saudara kandung, teman dan individu lain yang berperan penting dalam hidupnya.
Perlu adanya peningkatan religiusitas yang bersifat positif meski motivasinya
berbeda-beda antara individu yang lainya. Disinilah kecenderungan mempelajari
dan melakukan ritual keagamaan (ibadah, dzikir, dan do’a) semakin ditekuni. [6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada empat pendekatan yang mengetengahkan
dalam teori tentang manusia, ytaitu teori psikoanalisa dengan konsep manusia
sebagai manusia berkeinginan (Homo Volens),
teori behaviourisme dengan konsepsi manusia mesin (Homo Mechanicus), teori kognitif dengan konsepsi manusia berpikir (Homo Sapiens) dan teori humanisme dengan
konsepsi manusia yang mengerti makna kehidupan (Homo Ludens).
Dalam Al-Qur’an manusia disebut dengan
nama insan (makhluk psikologi), basyar (sebutan umum minus
karakteristik), bani Adam (biologis).
Nama Insan berasal dari kata nasiyah-yansa (lupa), uns (mesra) dan nasa yanusu (bergejolak).
Seorang da’i haruslah memiliki motivasi dalam berdakwah, kepribadian yang
baik dan mempunyai peran yang baik pula. Karena kehadiran da’i bisa memberikan bimbingan pemikiran, perasaan dan perilakuyang
diajarkan dalam agama Islam. Da’i juga harus bisa mengetahui bagaimana
psikologi mad’u yang berlatar
belakang bebeda-beda.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Gaffar.
Muslim Dalam Perspektif Qur’an. IAIN Sultan Qaimuddin Kendari. Vol 4 No. 2 Tahun 2016.
Muchsin,
Muchsin. 2015. Psikologi Dakwah. Semarang:
CV Karya Abadi.
Mubarok, Achmad.
2014. Psikologi Dakwah. Malang:
Madani Press Wisma Kalimetro.
[1] Prof. Dr. H. Achmad Mubarok, MA, Psikologi Dakwah, (Malang: Madani Press
Wisma Kalimetro, 2014), hlm 44-53.
[2] Abdul Gaffar. Muslim Dalam Perspektif
Qur’an. IAIN Sultan Qaimuddin Kendari. Vol 4 No. 2 Tahun 2016.
Komentar
Posting Komentar